I. PENDAHULUAN
Masalah
perbatasan wilayah erat kaitannya dengan pemahaman dan pelaksanaan konsepsi wawasan
nusantara. Akhir-akhir ini makin marak berita yang menayangkan berbagai persengketaan
wilayah antar Negara, mulai dari persengkataan wilayah oleh palestina dan Israel
yang belum juga menemukan titik pemecahan sampai detik ini sampai masalah yang
terjadi di wilayah Nusantara sendiri. Indonesia sebagai sebuah negara
kepulauan dengan pulau-pulau besar dan ribuan pulau kecil, dan letaknya yang di
antara dua benua dan dua samudra sangat rawan dengan akan adanya masalah
perbatasan ini. Masalah perbatasan sudah 2 kali terjadi antara Indonesia dan
Malaysia yaitu yang pertama persengketaan mengenai wilayah Sipadan dan Ligitan
yang berujung dengan kemenangan oleh pihak Malaysia, dan kasus yang terbaru
mengenai persengketaan atas wilayah Ambalat. Sebelum membahas mengenai
perbatasan Ambalat dan kaitannya dengan konsep serta implementasi wawasan
nusntara, ada baiknya kita kilas balik
mengenai masalah Sipadan dan Ligitan sebagai acuan untuk masalah ini.
Mahkamah
Internasional telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan pertimbangan “effectivitee”, yaitu bahwa
Pemerintah Inggris telah melakukan tindakan administratif secara nyata sebagai
wujud kedaulatannya berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung,
pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930-an, dan operasi
mercu suar sejak awal 1960-an. Sementara itu kegiatan pariwisata yang dilakukan
Malaysia hampir 15 tahun terakhir tidak menjadi faktor pertimbangan. Pada pihak
lain, Mahkamah menolak argumentasi Indonesia
yang bersandar pada Konvensi 1891 yang dinilai hanya mengatur perbatasan darat
dari kedua negara di Kalimantan. Garis paralel
4ยบ 10' Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik
pantai timur Pulau Sebatik sesuai ketentuan hukum laut internasional pada waktu
itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil. Sebaliknya, Mahkamah juga
menolaak argumentasi Malaysia
mengenai perolehan kepemilikan atas kedua pulau tersebut berdasarkan “chain of
title” (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu).
Hampir
tidak dapat dielakkan adanya rasa kecewa yang mendalam bahwa upaya maksimal
yang dilakukan oleh empat pemerintahan Indonesia sejak tahun 1997 ternyata
tidak membuahkan hasil seperti yang kita harapkan bersama.
Suatu fakta penting yang perlu kita ketahui adalah UU No. 4 Tahun 1960 yang memuat peta Wawasan Nusantara kita dimana ditarik dengan garis pangkal yang menghubungkan titik terluar dari pulau-pulau terluar yang dimiliki Indonesia, kedua pulau Sipadan dan Ligitan berada diluar peta tersebut. Sementara itu perlu juga dicatat bahwa pihak Malaysia juga tidak memuat kedua pulau tersebut dalam peta-peta mereka hingga tahun 1979. Namun kita berkewajiban untuk menghormati Persetujuan Khusus untuk bersama-sama mengajukan sengketa antara Indonesia dan Malaysia tentang kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Mahkamah Internasional, yang ditandatangani pada tanggal 31 Mei 1997. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia menerima keputusan Mahkamah Internasional tersebut sebagai final dan mengikat.
Suatu fakta penting yang perlu kita ketahui adalah UU No. 4 Tahun 1960 yang memuat peta Wawasan Nusantara kita dimana ditarik dengan garis pangkal yang menghubungkan titik terluar dari pulau-pulau terluar yang dimiliki Indonesia, kedua pulau Sipadan dan Ligitan berada diluar peta tersebut. Sementara itu perlu juga dicatat bahwa pihak Malaysia juga tidak memuat kedua pulau tersebut dalam peta-peta mereka hingga tahun 1979. Namun kita berkewajiban untuk menghormati Persetujuan Khusus untuk bersama-sama mengajukan sengketa antara Indonesia dan Malaysia tentang kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Mahkamah Internasional, yang ditandatangani pada tanggal 31 Mei 1997. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia menerima keputusan Mahkamah Internasional tersebut sebagai final dan mengikat.
(Pernyataan Pers Hassan
Wirajuda Tentang Keputusan Kasus Sipadan dan Ligitan)
Belajar dari masalah Sipadan dan Ligitan maka diperlukan
suatu pemahaman mengenai konsep kepulauan Indonesia yang lazim disebut dengan
Wawasan Nusantara serta implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Hal ini penting untuk menjaga keutuhan wilayah Republik Indonesia
sebagai satu kesatuan yang utuh yang terbentang dari ujung barat, sabang ke
ujung timur, merauke.
II. PEMBAHASAN
Menilik
semua permasalahan diatas semua berawal dari konsep dan implementasi dari
wawasan nusantara. Dalam rangka menerapkan wawasan nusantara, kita sebaiknya
terlebih dahulu mengerti dan memahami pengertian ,ajaran dasar, hakikat ,asas,
kedudukan dan fungsi serta tujuan wawasan nusantara.
A.
Pengertian dan sejarah singkat timbulnya wawasan nusantara
1. Pengertian Wawasan Nusantara
1. Pengertian Wawasan Nusantara
Istilah
wawasan nusantara berasal dari kata wawas
yang berarti pandangan, tinjauan, atau penglihatan inderawi.
Istilah wawasan berarti cara pandang, cara
tinjau, atau cara melihat.
Sedangkan istilah nusantara berasal dari kata “nusa” yang berarti pulau-pulau, dan “antara” yang berati diapit di antara dua hal.
Sedangkan istilah nusantara berasal dari kata “nusa” yang berarti pulau-pulau, dan “antara” yang berati diapit di antara dua hal.
Secara unum wawasan nasional berarti cara pandang
suatu bangsa tentang diri dan lingkungannya yang dijabarkan dari dasar falsafah
dan sejarah bangsa itu sesuai dengan posisi dan kondisi geografi negaranya
untuk mencapai tujuan atau cita-cita nasionalnya.
Wawasan nusantara mempunyai arti cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan
pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan geografi wilayah nusantara yang
menjiwai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan dan cita-cita nasionalnya.
B.Kaitan
Kasus Ambalat dengan Wawasan Nusantara
Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar dan
wilayah yang luas baik darat maupun lautan memiliki tantangan tersendiri untuk
menjaga keutuhan dan persatuan serta kesatuan wilayahnya. Berbagai ancaman,
hambatan, tantangan dan gangguan baik yang berasal dari dalam negeri maupun
luar negeri dapat mengancam keutuhan bangsa dan Negara Indonesia. Hal yang berkaitan
dengan konsep wawasan nusantara serta implementasinya salah satunya mengenai
persengketaan berkaitan dengan daerah perbatasan antar Negara. Seperti hal yang
sangat marak baru-baru ini yaitu sengketa antar dua negara serumpun,
Indonesia-Malaysia mengenai daerah perbatasan di wilayah Ambalat.
Adapun latar belakang yang memunculkan
masalah tersebut yaitu Pemberian konsesi eksplorasi pertambangan di Blok ND7
dan ND6 dalam wilayah perairan Indonesia. Tepatnya di Laut Sulawesi,
perairan sebelah timur Kalimantan oleh perusahaan minyak malaysia, petronas kepada PT Shell,
pada tanggal16 Februari 2005. Padahal Pertamina dan Petronas sudah lama saling
mengklaim hak atas sumber minyak dan gas di Laut Sulawesi dekat Tawau, Sabah
yang dikenal dengan East Ambalat. Kedua
perusahaan minyak dan gas itu sama-sama menawarkan hak eksplorasi ke perusahaan
asing. Blok Ambalat diperkirakan memiliki kandungan 421,61 juta barel minyak
dan gas 3,3 triliun kaki kubik.
(
Ken/ Wan, Dispenal mediacenter@tnial.mil.id)
Pemberian
konsesi minyak oleh Malaysia
tersebut menimbulkan reaksi dari berbagai pihak di Indonesia. klaim tersebut dilakukan Malaysia
dengan argumentasi peta tahun 1979 yang diterbitkan secara sepihak oleh Malaysia.
dan menurut Marty Natalegawa "Jangankan Indonesia, negara lain saja sudah
protes atas penerbitan peta itu, karena mengubah wilayah perairan di Asia
Tenggara,".Protes terhadap peta itu sudah dilakukan sejak Tahun 1980 dan
tetap dilakukan secara berkala. Indonesia
sendiri telah memberikan konsesi minyak kepada beberapa perusahaan minyak dunia
di lokasi ini sejak tahun 1960-an tanpa ada keberatan dan protes dari negara
lain. "Karena memang dilakukan di wilayah Indonesia," kata Marty.
( Yophiandi Kurniawan, www. tempo interaktif.com)
Malaysia semula mengklaim memiliki wilayah
perairan Indonesia
lebih dari 70 mil dari batas pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Belakangan Malaysia
memperluas wilayahnya sampai sejauh dua mil. Dengan demikian, total luas
wilayah Indonesia yang telah "dicaplok" Malaysia adalah 15.235
kilometer persegi. Adapun titik awal penarikan garis batas pengakuan dimulai
dari garis pantai Pulau Sebatik, Kaltim.
Salah
satu bukti kesewenang-wenangan Malaysia
yang lain adalah mencantumkan kawasan Karang Unarang ke dalam wilayah perairan Malaysia
pada peta terbaru yang dikeluarkan pemerintahan pimpinan Perdana Menteri Datuk
Seri Abdullah Ahmad Badawi. Padahal selama ini Karang Unarang berada di kawasan
Indonesia.
Pengakuan tersebut kontan ditolak Indonesia. Alasannya, Malaysia
bukan negara kepulauan dan hanya berhak atas 12 mil dari garis batas pantai
Pulau Sipadan dan Ligitan. Patut diketahui, konsep Wawasan Nusantara atau
status Indonesia
sebagai negara kepulauan telah diakui dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tahun 1982 (UNCLOS 1982).
(Ken/
Wan,Dispenal mediacenter@tnial.mil.id)
Kontan saja, tindakan sepihak ini
menuai tanggapan yang beragam dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia, dari
mulai demo, sikap untuk melakukan diplomasi, hingga sikap keras untuk melakukan
perang terbuka.
( Tridoyo
Kusumanstanto, https://www.kompas.com)
Tindakan
pemerintah Malaysia yang
mengklaim blok perairan Ambalat sebagai wilayah teritorial negaranya telah
memicu sikap dan tindakan "reaksi" dari berbagai komponen masyarakat Indonesia.
Bahkan, banyak anggota masyarakat yang siap mengikrarkan diri sebagai korps
sukarelawan apabila konflik klaim wilayah perairan Ambalat termanifestasi menjadi
perang terbuka. Perasaan sakit hati masyarakat (bangsa) Indonesia tersebut sesungguhnya merupakan
akumulasi kekecewaan dan tumpukan rasa sakit hati atas berbagai kebijakan
pemerintah Malaysia yang
begitu antikemanusiaan dan antipenghargaan martabat bangsa lain (khususnya
bangsa Indonesia).
Dari kasus TKI, di mana pemerintah Malaysia
lebih banyak bertindak represif dan seolah menempatkan para TKI asal Indonesia
sebagai "budak belian" yang disia-siakan. Juga kasus lepasnya Pulau
Sipadan dan Ligitan melalui keputusan ICJ (International Court Justice) tahun
2002, menjadi inspirasi sentimen nasionalisme bangsa ini.
Perkembangan
kasus Ambalat sendiri, saat ini telah menaikkan ketegangan hubungan diplomatik
antara Malaysia dan Indonesia, meski dalam strategi politik media di Malaysia
kasus klaim Ambalat sengaja ''didinginkan'' agar publik Malaysia tidak
terlibat jauh dalam sengketa politik tersebut.
Ada beberapa sikap masyarakat di dalam
negeri Indonesia
yang merespons kasus Ambalat. Pertama, sikap anti-Malaysia dalam pengertian
politik. Sikap ini ditunjukkan oleh kalangan nasionalis dan masyarakat awam
yang sebenarnya memiliki perasaan sakit hati atas kebijakan politik pemerintah Malaysia
dalam kasus TKI. Sikap ini ditunjukkan dalam berbagai demonstrasi dengan isu
"Ganyang Malaysia".
Kedua, sikap kritis dan rasional. Sikap ini mencoba mengkritisi kasus Ambalat
sebagai bentuk sengketa kewilayahan antardua negara tetangga karena perbedaan
sudut pandang politik kemaritiman dan juga kepentingan ekonomi-politik. Sikap
ini ditunjukkan oleh kalangan cerdik pandai di Indonesia
yang memposisikan kasus Ambalat setara dengan kasus-kasus sengketa batas
wilayah atau klaim teritorial seperti Kepulauan Spratly, yang diperebutkan lima negara asia. Ketiga,
sikap kritis-progresif. Sikap ini ditunjukkan
oleh berbagai komponen gerakan
mahasiswa yang mencoba membaca kasus Ambalat sebagai bentuk pertaruhan harga
diri bangsa dan negara dari deraan kepentingan ekonomi-politik
neo-imperalisme.Sikap kritis-progresif kalangan gerakan mahasiswa -- yang
terekspresi dalam berbagai aksi, demonstrasi, pernyataan sikap -- tersebut
dilandasi oleh kerangka berpikir bahwa kasus konflik Ambalat sebenarnya
merupakan konflik kepentingan rezim neo-liberalisme dan neo-imperalisme yang
terwakili berbagai serikat perusahaan minyak global yang
ingin mengeksploitasi sumber daya
minyak di gugus perairan Ambalat (East Ambalat).
Yakni antara perusahaan minyak UNOCAL (AS) dan ENI (Italia) yang telah menjalin
kontrak dengan pemerintah Indonesia, diwakili Pertamina melawan perusahaan
SHELL (Inggris-Belanda) yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan
pemerintah Malaysia,yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan pemerintah
Malaysia, yang diwakili "mitra bisnisnya'', yakni Petronas.Dalam catatan
pengamat politik Riswanda Imawan, sengketa perairan Ambalat merupakan medan
"pertempuran'' kepentingan antarperusahaan kapitalis minyak di atas untuk
memperebutkan sumber daya minyak dan gas yang ada di dasar perairan Ambalat.
Dalam konteks demikian sebenarnya konflik Ambalat adalah pertentangan
kepentingan antarperusahaan minyak global dengan memanfaatkan politik
intervensi pemerintah Malaysia
yang mungkin memiliki sikap berani berkonflik melawan pemerintah Indonesia,
yang saat ini lemah secara politik, ekonomi dan kekuatan persenjataan karena
deraan praktik korupsi serta krisis ekonomi sejak akhir kekuasaan Orde Baru.
(
Yuli Prasetyaningsih, https://www.balipost.co.id)
Sikap
masyarakat Indonesia
sangat wajar, mengingat luka akan lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan masih belum
hilang. Selain itu, hingga saat ini, pihak Malaysia tidak pernah berniat baik
dalam menyelesaikan permasalahan perbatasan dengan negara tetangga. Sikap
arogansi Malaysia ini dicerminkan oleh ditetapkannya peta wilayah buatan
Malaysia tahun 1979 secara sepihak dan dengan gampangnya memasukkan wilayah
negara lain sebagai wilayahnya, seperti wilayah Indonesia, China, Filipina,
Thailand, Vietnam, serta Inggris yang mengatasnamakan Brunei Darussalam.
Sebagaimana Indonesia,
negara-negara yang wilayahnya diklaim oleh Malaysia melakukan protes keras.
Ironisnya, hingga saat ini pihak Malaysia belum menuntaskan masalah
ini secara penuh. Padahal, klaim suatu wilayah secara sepihak tidak dibenarkan
oleh ketentuan internasional sebagaimana tertuang dalam hukum laut internasional
(UNCLOS 1982).
Dengan kata lain, apabila suatu
wilayah negara pantai berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent) dengan
negara lain, maka negara tersebut harus melakukan perundingan untuk mencapai
persetujuan. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada keputusan Mahkamah
Internasional 18 Desember 1951 dalam kasus perikanan atau yang dikenal dengan
Anglo norwegian fisheries case antara Inggris dan Norwegia. Pada kasus itu
disebutkan, bahwa delimitasi batas wilayah laut tidak hanya bergantung pada
kehendak sepihak satu negara pantai saja yang dituangkan dalam undang-undang
nasionalnya, melainkan keabsahannya delimitasi batas wilayah laut harus
didasarkan pada hukum internasional.
Sementara itu yang patut diingat dalam
menuntaskan permasalahan sengketa Ambalat, di samping show of force militer,
Pemerintah Indonesia juga harus menyiapkan strategi jitu secara diplomatik agar
tidak kembali menelan kekalahan seperti dalam persidangan kasus sengketa Pulau
Sipadan dan Ligitan. Akankah kedaulatan wilayah kita yang disatukan oleh lautan
kembali terlepas dari pangkuan Ibu Pertiwi?
Perjuangan Indonesia untuk memperoleh
pengakuan sebagai negara kepulauan merupakan sebuah perjalanan panjang yang
sangat melelahkan. Hal ini dikarenakan usaha-usaha untuk memasukkan rezim
kepulauan selama diadakan Konferensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930 dan
Konferensi Hukum Laut di Jenewa tahun 1958 selalu mengalami kegagalan. Di
samping tidak adanya kesepakatan mengenai pengertian negara kepulauan,
kegagalan tersebut dipengaruhi oleh berbagai kepentingan antarnegara, khususnya
negara-negara maritim besar yang ingin terus menancapkan hegemoninya di wilayah
laut.
Mochtar Kusumaatmadja (2003)
menyebutkan, sekurang-kurangnya ada empat golongan yang berkepentingan dengan
prinsip-prinsip negara kepulauan, yaitu: Pertama, negara-negara tetangga, yakni
anggota-anggota ASEAN dan negara-negara tetangga lainnya, termasuk Australia.
Kedua, negara yang berkepentingan terhadap perikanan dan pemasangan kabel
komunikasi di dasar laut, seperti Jepang yang melakukan kegiatan perikanan di
Perairan Indonesia
sejak sebelum perang. Ketiga, negara maritim yang berkepentingan terhadap lalu
lintas pelayaran laut. Dalam golongan ini termasuk negara- negara Eropa Barat
yang memiliki armada niaga besar dan maju. Keempat, negara maritim besar yang
mempunyai kepentingan terhadap strategi militer, seperti Amerika Serikat dan
Rusia.
Sementara itu jauh sebelum
bergabungnya Indonesia, Filipina, Fiji, dan Mauritus sebagai negara pendukung
asas-asas kepulauan pada akhir tahun 1972, Pemerintah Republik Indonesia pada
tanggal 13 Desember 1957 mengeluarkan suatu deklarasi tentang wilayah Perairan
Indonesia yang dikenal dengan istilah Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini mengubah
batas laut teritorial Indonesia dari 3 mil berdasarkan Territoriale Zee en
Maritime Kringen Ordonnantie (TZMKO) 1939 menjadi 12 mil. Artinya, bagian laut
yang sebelumnya termasuk laut lepas (high seas), sekarang menjadi laut
teritorial Indonesia, seperti Laut Jawa yang terletak antara Pulau Kalimantan
dan Pulau Jawa.
Untuk memperkuat Deklarasi Djuanda
1957 dan melaksanakan konsepsi Wawasan Nusantara, maka Pemerintah Republik
Indonesia menetapkan Perpu Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang
kemudian diganti oleh UndangUndang No 6/1996. Dalam perkembangan selanjutnya,
konsepsi negara kepulauan akhirnya mendapat pengakuan pada Konvensi Hukum Laut
1982.
Dimasukannya poin-poin negara
kepulauan dalam Bab IV UNCLOS 1982 yang berisi 9 pasal, bagi seluruh rakyat
Indonesia hal ini memiliki arti penting karena selama 25 tahun secara
terus-menerus Pemerintah Indonesia memperjuangkan asas-asas negara kepulauan.
Pengakuan resmi asas negara kepulauan ini merupakan hal yang penting dalam
rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah yang utuh sesuai dengan Deklarasi
Djuanda 13 Desember 1957 dan Wawasan Nusantara sebagaimana termaktub dalam TAP
MPR tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang menjadi dasar bagi perwujudan
kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan, dan keamanan.
Berdasarkan informasi yang berkembang,
mencuatnya konflik Malaysia-Indonesia
di Perairan Sulawesi disebabkan salah satunya oleh kesalahan Malaysia dalam melakukan penarikan
garis pangkal (base line) pascasidang kasus Sipadan-Ligitan. Sejak beralihnya
kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, pihak Pemerintah Malaysia menempatkan dirinya sebagai negara
kepulauan (archipelagis state), yang kemudian menggunakan garis pangkal lurus
kepulauan (straight archipelagic baseline) dalam penentuan batas wilayahnya sehingga
wilayah perairannya menjorok jauh ke selatan, mengambil wilayah perairan Indonesia.
Dengan dasar itu, materi yang menjadi
pertanyaan selanjutnya adalah, benarkah Malaysia merupakan negara kepulauan
sebagaimana yang dipersyaratkan dalam UNCLOS 1982?
Secara umum, definisi yang diberikan
UNCLOS 1982 terhadap negara kepulauan ialah negara-negara yang terdiri atas
seluruhnya dari satu atau lebih kepulauan. Selanjutnya ditentukan, bahwa yang
dimaksud dengan kepulauan adalah sekumpulan pulau-pulau, perairan yang saling
bersambungan (inter-connecting water) dan karakteristik alamiah lainnya dalam
pertalian yang demikian erat sehingga membentuk suatu kesatuan intrinsik
geografis, ekonomis, dan politis atau secara historis memang dipandang sebagai
demikian (Pasal 47). Dengan demikian, Malaysia tidak dibenarkan
menggunakan garis pangkal lurus kepulauan karena mereka tidak berstatus sebagai
negara kepulauan.
Selain itu, klaim Malaysia juga
didasarkan pada konsepsi Landasan Kontinen (continental shelf) yang merupakan
kelanjutan alamiah (natural prolongation) dari wilayah daratannya sampai pada
ujung luar dari tepian kontinen atau sampai pada jarak 200 mil laut dari garis
pangkal. Ironisnya, lagi- lagi Malaysia keliru, karena Indonesia sebagai negara
kepulauan yang berhak melakukan penarikan garis pangkal dari ujung luar batas
pulau-pulaunya, maka batas laut teritorial bagian utara pulau Jawa berada di
Lautan Sulawesi.
(
Tridoyo Kusumanstanto, https://www.kompas.com)
C. Hikmah dan Solusi Kasus Ambalat Kaitannya dengan Implementasi
Wawasan Nusantara
Lepasnya Sipadan dan Ligitan ke tangan
Malaysia, dan kini Blok Ambalat dalam klaimnya juga, secara hukum sebenarnya
akibat kelalaian Indonesia yang tidak segera menetapkan batas terluar kepulauan
Indonesia, terutama sejak rezim hukum negara kepulauan mendapat pengakuan dari
masyarakat internasional melalui Konvensi Hukum Laut (KLH) 1982. Bab IV KLH,
1982 (Pasal 46 hingga Pasal 54) mengatur tentang Negara Kapulauan (Archipelagic
States) Indonesia telah meratifikasi KLH 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985.
Namun, ratifikasi KLH 1982 ternyata
dalam perkembangannya tidak segera diikuti dengan langkah-langkah tindak lanjut
sebagai penjabarannya ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. Kondisi
tersebut sebenarnya kurang menguntungkan bagi Indonesia,
karena berarti Indonesia
belum dapat mengambil manfaat dari adanya perubahan dan atau pembaruan di
bidang pengaturan atas laut khususnya yang diatur dalam Bab IV KLH 1982 tentang
Negara Kapulauan.
Rezim hukum "negara
kepulauan" Indonesia
yang telah diperjuangkan dengan susah payah sejak deklarasi Juanda 1957, harus
dijaga keutuhannya dan dipertahankan eksistensinya, bila perlu dengan
mengerahkan kekuatan bersenjata dan seluruh rakyat Indonesia. Aksi Malaysia dengan klaimnya atas Blok Ambalat
merupakan tamparan nyata terhadap kedaulatan teritorial "negara
kepulauan" Indonesia.
Aksi tersebut tidak boleh dibiarkan menjadi kenyataan. Tunjukkan dan tegaskan
baik secara "faktual" maupun "yuridis" bahwa Blok Ambalat
adalah milik Indonesia.
Pengaturan masalah kelautan bagi
pemerintah Republik Indonesia
merupakan hal yang penting dan mendesak mengingat bentuk geografi Republik Indonesia
sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau dengan sifat dan
corak tersendiri. Hal tersebut sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945 bahwa,
"Pemerintah Republik Indonesia
berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia".
Penetapan batas-batas laut teritorial selebar
3 mil dari pantai sebagaimana terdapat dalam Territiriale Zee en Maritieme
Kringen-Ordonnantie 1939 (TZMKO 1939) Pasal 1 ayat 1 tidak sesuai lagi
dengan kepentingan keselamatan dan keamanan negara Republik Indonesia. Demi kesatuan wilayah
negara Republik Indonesia,
semua pulau-pulau serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai
satu kesatuan yang bulat.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pada
tanggal 13 Desember 1957, Pemerintah Republik Indonesia
mengeluarkan suatu pernyataan mengenai wilayah perairan Indonesia (deklarasi Juanda).
Deklarasi tersebut yang di dalamnya mengandung konsepsi nusantara menimbulkan
konsekuensi bagi pemerintah dan bangsa Indonsia untuk memperjuangkan dan
mempertahankannya hingga mendapat pengakuan dari masyarakat internasional.
Deklarasi Juanda 1957 mendapat
tantangan dari negara-negara yang saat itu merasa kepentingannya terganggu
seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Belanda dan New Zealand dengan
menyatakan tidak mengakui klain Indonesia atas konsepsi nusantara. Negara yang
mendukung pernyataan Indonesia
mengenai konsepsi nusantara hanya Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina.
Tapi dalam visi dan orientasi
pembangunan, khususnya sejak Orba, kita melupakan visi dan orientasi negara
kepulauan ini dan lebih berorientasi tanah daratan (land based oriented)
yang mengakibatkan kita bersifat inward looking. Tanpa orientasi
kepulauan, seperti dikatakan Dimyati Hartono, kita tidak punya national
security belt, yakni titik-titik kawasan strategis bagi mengamankan kewilayahan
dan kedaulatan negara. Setiap titik itu bukan saja menjadi pos pertahanan
tetapi juga dikembangkan ekonomi dan sarana-prasarana pendidikannya sehingga
kawasan-kawasan titik ini dengan sendirinya akan terbangun sistem peringatan
dini (early warning system). Dengan orientasi kepulauan, Indonesia
akan membangun dengan pandangan integratif darat, laut dan udara. Dan orientasi
ini akan membuat kita lebih outward looking.
Dalam menghadapi sengketa dan konflik
daerah perbatasan ada beberapa model dan pola yang pernah dan dapat dilakukan
untuk mengatasinya seperti dijelaskan dalam Pasal 33 Piagam PBB tentang Hukum
Laut Internasional bahwa bila tak bisa diselesaikan secara bilateral, ada
pelbagai alternatif, misalnya mediator, arbitrator dan mekanisme regional.
Dalam kasus Ambalat, Malaysia pasti tak akan menggunakan mekanisme regional di
ASEAN, karena dia punya persoalan dengan semua negara tetangganya seperti
Singapura, Vietnam, Brunei Darusalam, Filipina dan Thailand mengenai batas
laut. Malaysia takut semua
anggota ASEAN berpihak ke Indonesia.
Bila perundingan bilateral menemui
jalan buntu, bisa dipilih solusi joint development, di mana Indonesia
termasuk pelopor dalam penggunaan mekanisme itu. Pada 1989, setelah
bertahun-tahun menemui jalan buntu, kita sepakat tak membuat garis batas dengan
Australia di Celah Timor. Kita menyepakati
membuat joint development dengan melakukan kerja sama ekonomi di wilayah
yang disengketakan. Model joint development banyak mendapat pujian dari
dunia dan konsep ini akhirnya ditiru negara-negata lain.
Sebagai negara
kepulauan, kita mempunyai persoalan dalam menjaganya karena saat kemerdekaan,
laut kita cuma 3 mil dari pantai. Jadi luas laut kita tak lebih dari 100 ribu
kilometer persegi. Setelah konsep wawasan nusantara diterima dunia, dan
mendapat tambahan ZEE 200 mil, total laut kita menjadi 6 juta kilometer
persegi.
( Didi
Turmudzi, https://www.pikiran-rakyat.com)
Dengan demikian, dengan alasan apa
pun, klaim wilayah di Blok Ambalat dan Blok East Ambalat tidak dibenarkan oleh
hukum laut internasional. Apalagi Indonesia diperkuat oleh serentetan
sejarah yang mencatat bahwa perairan di Ambalat masuk ke dalam wilayah
pengaturan Kerajaan Bulungan. Namun, langkah yang juga harus segera ditempuh
oleh Pemerintah Indonesia adalah segera perbaiki dan depositkan PP No 38/2002
tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia ke Sekjen PBB untuk dicatatkan sebagai bukti dalam penguasaan
wilayah. Semoga usaha diplomasi yang kuat dan terukur dapat mempertahankan
kedaulatan keutuhan Negeri Bahari yang kita cintai.
( Tridoyo
Kusumanstanto, https://www.kompas.com)
Persengketaan atas wilayah Ambalat
membutuhkan penyelesaian yang logis, relevan, tanpa merugikan pihak manapun
apalagi sampai menimbulkan peperangan. Jika terjadi kontak senjata antar
Angkatan Laut maka masing-masing negara bersengketa RI-Malaysia mengalami
kerugian. Diusahakan sedapat mungkin persengketaan atas wilayah Ambalat dapat
diselesaikan secara damai.
Sebuah
sentilan mengenai kasus sipadan, ligitan, dan yang terakhir adalah ambalat,
harusnya menyadarkan kita bahwa kita telah jauh dari konsep wawasan nasional
yang merupakan landasan visional bangsa dan Negara Indonesia.
Berkaitan
dengan masalah perbatasan ini kaitannya dengan Wawasan Nusantara, penulis
menawarkan solusi untuk menilik kembali kepada diri kita masing-masing harusnya
setiap warga Negara Indonesia
perlu memiliki kesadaran untuk:
1.
Mengerti,
memahami, dan menghayati hak dan kewajiban warga Negara serta hubungan warga
Negara dan Negara, sehingga sadar sebagai bangsa Indonesia yang cinta tanah air
berdasarkan pancasila, UUD 1945, dan Wawasan Nuasantara
2.
Mengerti,
memahami, dan menghahayati bahwa di dalam menyelenggarakan kehidupannya Negara
memerlukan konsepsi wawasan nusantara, sehingga sadar sebagai earga Negara
memiliki wawasan nusantara guna mencapai cita-cita dan tujuan nasional
3.
Indonesia harus lebih jeli dalam melihat setiap
wilayahnya yang berbatasan dengan Negara lain, dan tentu apapun yang berkaitan
dengan hal ini dibutuhkan bukti autentik. Indonesia
harus belajar dari kasus Sipadan Ligitan agar wilayah Indonesia tetap
merupakan satu kesatuan utuh yang berlandaskan kebhinekaan.
III. KESIMPULAN
Masalah perbatasan wilayah antar Negara merupakan salah satu
bentuk ancaman bagi keutuhan wilayah Nusantara. Kasus ambalat harusnya
menyadarkan bangsa Indonesia
bahwa kita sudah jauh dari Konsep Wawasan Nusantara dan Juga kelalaian Indonesia yang tidak segera menetapkan batas terluar kepulauan Indonesia . Selama ini wawasan nusantara hanya jadi sebuah slogan
tanpa adanya implementasi yang jelas dalam berbagai segi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk mengetuk hati nurani setiap warga
Negara Indonesia
agar sadar bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, diperlukan pendekatan dengan
program yang teratur, terjadwal dan terarah. Hal ini akan mewujudkan
keberhasilan dan implementasi wawasan nusantara. Dengan demikian wawasan nusantara
terimplementasi dalam kehidupan nasional guna mewujudkan ketahanan nasioanal
dalam rangka menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Agoes, Etty, R., 1988. masalah
sekitar Ratifikasi dan Implementasi konvensi hukum Laut 1982.
Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Basril, Chaidir ., 1992. Pengetahuan tentang Penyelenggaraan
Pertahanan Keamanan Negara, CV. Chitra Delima, Jakarta.
Djalal, Hasyim., 1979, Perjuangan Indonesia di bidang Hukum Laut.
Bina Cipta, Bandung.
Hidayat, Imam dan Mardiono., 1983. Geopolitik. Usaha Nasional, Surabaya.
Ken/ Wan. 07 Maret 2005. Hari ini Presiden Yudhoyono Ke Ambalat.
Dispenal mediacenter@tnial.mil.id
Kurniawan, Yophiandi. 27 Februari 2005. Protes Indonesia atas Ambalat .Tempo Interaktif.
Kusumastanto,
Tridoyo. Ambalat dan Diplomasi Negara
Kepulauan Republik Indonesia.
https://www.kompas.com
Pernyataan Pers DR.N. Hassan Wirajuda, Menteri luar Negeri RI.
Tentang kasus Sipadan
dan Ligitan. 17 Desember 2002. Embassy of the Republic of Indonesia-
Wellington
Prasetianingsih, Yuli. Membaca Sengketa Ambalat dengan
Reaktualisasi Nasionalisme. https://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/3/18/o2.htm
Sumarsono, dkk., 2001. Pendidikan Kewarganegaraan. PT Sun, Jakarta.
Turmudzi, Didi, Prof. Dr. H.M. Membangun Visi Negara Kepulauan. https://www.pikiran-rakyat.com
No comments :
Post a Comment