Saturday, 3 March 2012

EKOSISTEM PERAIRAN



A.Pengertian
Ø  Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.

B. Komponen Pembentuk Ekosistem
    * Komponen hidup (biotik)
    * Komponen tak hidup (abiotik)

Kedua komponen tersebut berada pada suatu tempat dan berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur. Misalnya, pada suatu ekosistem akuarium, ekosistem ini terdiri dari ikan, tumbuhan air, plankton yang terapung di air sebagai komponen biotik, sedangkan yang termasuk komponen abiotik adalah air, pasir, batu, mineral dan oksigen yang terlarut dalam air. Ekosistem merupakan suatu interaksi yang kompleks dan memiliki penyusun yang beragam. Di bumi ada bermacam-macam ekosistem.

  1. Susunan Ekosistem
Dilihat dari susunan dan fungsinya, suatu ekosistem tersusun atas komponen sebagai berikut.
    a. Komponen autotrof
Ø  (Auto = sendiri dan trophikos = menyediakan makan).
Autotrof adalah organisme yang mampu menyediakan/mensintesis makanan sendiri yang berupa bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan energi seperti matahari dan kimia. Komponen autotrof berfungsi sebagai produsen, contohnya tumbuh-tumbuhan hijau.
    b. Komponen heterotrof
Ø  (Heteros = berbeda, trophikos = makanan).
Heterotrof merupakan organisme yang memanfaatkan bahan-bahan organik sebagai makanannya dan bahan tersebut disediakan oleh organisme lain. Yang tergolong heterotrof adalah manusia, hewan, jamur, dan mikroba.
     c. Bahan tak hidup (abiotik)
Bahan tak hidup yaitu komponen fisik dan kimia yang terdiri dari tanah, air, udara, sinar matahari. Bahan tak hidup merupakan medium atau substrat tempat berlangsungnya kehidupan, atau lingkungan tempat hidup.
     d. Pengurai (dekomposer)
Pengurai adalah organisme heterotrof yang menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme mati (bahan organik kompleks). Organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen. Termasuk pengurai ini adalah bakteri dan jamur.
 C. Ekosistem air laut
Ekosistem air laut dibedakan atas lautan, pantai, estuari, dan terumbu karang.
1. Ekosistem Laut
Habitat laut (oseanik) ditandai oleh salinitas (kadar garam) yang tinggi dengan ion CI- mencapai 55% terutama di daerah laut tropik, karena suhunya tinggi dan penguapan besar. Di daerah tropik, suhu laut sekitar 25°C. Perbedaan suhu bagian atas dan bawah tinggi. Batas antara lapisan air yang panas di bagian atas dengan air yang dingin di bagian bawah disebut daerah termoklin.
Di daerah dingin, suhu air laut merata sehingga air dapat bercampur, maka daerah permukaan laut tetap subur dan banyak plankton serta ikan. Gerakan air dari pantai ke tengah menyebabkan air bagian atas turun ke bawah dan sebaliknya, sehingga memungkinkan terbentuknya rantai makanan yang berlangsung balk. Habitat laut dapat dibedakan berdasarkan kedalamannya dan wilayah permukaannya secara horizontal.
Menurut kedalamannya, ekosistem air laut dibagi sebagai berikut
·         Litoral merupakan daerah yang berbatasan dengan darat.
·         Neretik merupakan daerah yang masih dapat ditembus cahaya matahari sampai bagian dasar dalamnya ± 300 meter.
·         Batial merupakan daerah yang dalamnya berkisar antara 200-2500 m
·         Abisal merupakan daerah yang lebih jauh dan lebih dalam dari pantai (1.500-10.000 m)
Menurut wilayah permukaannya secara horizontal, berturut-turut dari tepi laut semakin ke tengah, laut dibedakan sebagai berikut
  • ·         Epipelagik merupakan daerah antara permukaan dengan kedalaman air sekitar 200 m.
  • ·         Mesopelagik merupakan daerah dibawah epipelagik dengan kedalam an 200-1000 m. Hewannya misalnya ikan hiu.
  • ·        Batiopelagik merupakan daerah lereng benua dengan kedalaman 200-2.500 m. Hewan yang hidup di daerah ini misalnya gurita.
  • ·         Abisalpelagik merupakan daerah dengan kedalaman mencapai 4.000m; tidak terdapat tumbuhan tetapi hewan masih ada. Sinar matahari tidak mampu menembus daerah ini.
  • ·         Hadal pelagik merupakan bagian laut terdalam (dasar). Kedalaman lebih dari 6.000 m. Di bagian ini biasanya terdapat lele laut dan ikan Taut yang dapat mengeluarkan cahaya. Sebagai produsen di tempat ini adalah bakteri yang bersimbiosis dengan karang tertentu.

Di laut, hewan dan tumbuhan tingkat rendah memiliki tekanan osmosis sel yang hampir sama dengan tekanan osmosis air laut. Hewan tingkat tinggi beradaptasi dengan cara banyak minum air, pengeluaran urin sedikit, dan pengeluaran air dengan cara osmosis melalui insang. Garam yang berlebihan diekskresikan melalui insang secara aktif.
2. Ekosistem pantai
Ekosistem pantai letaknya berbatasan dengan ekosistem darat, laut, dan daerah pasang surut. Ekosistem pantai dipengaruhi oleh siklus harian pasang surut laut. Organisme yang hidup di pantai memiliki adaptasi struktural sehingga dapat melekat erat di substrat keras. Daerah paling atas pantai hanya terendam saat pasang naik tinggi. Daerah ini dihuni oleh beberapa jenis ganggang, moluska, dan remis yang menjadi konsumsi bagi kepiting dan burung pantai.
            Daerah tengah pantai terendam saat pasang tinggi dan pasang rendah. Daerah ini dihuni oleh ganggang, porifera, anemon laut, remis dan kerang, siput herbivora dan karnivora, kepiting, landak laut, bintang laut, dan ikan-ikan kecil. Daerah pantai terdalam terendam saat air pasang maupun surut. Daerah ini dihuni oleh beragam invertebrata dan ikan serta rumput laut.
3. Estuari
Estuari (muara) merupakan tempat bersatunya sungai dengan laut. Estuari sering dipagari oleh lempengan lumpur intertidal yang luas atau rawa garam. Salinitas air berubah secara bertahap mulai dari daerah air tawar ke laut. Salinitas ini juga dipengaruhi oleh siklus harian dengan pasang surut aimya. Nutrien dari sungai memperkaya estuari.
Komunitas tumbuhan yang hidup di estuari antara lain rumput rawa garam, ganggang, dan fitoplankton. Komunitas hewannya antara lain berbagai cacing, kerang, kepiting, dan ikan. Bahkan ada beberapa invertebrata laut dan ikan laut yang menjadikan estuari sebagai tempat kawin atau bermigrasi untuk menuju habitat air tawar. Estuari juga merupakan tempat mencari makan bagi vertebrata semi air, yaitu unggas air.
4. Ekosistem lamun (Seagrass ecosystem)
Lamun (seagrass) adalah satu‑satunya kelompok tumbuh-tumbuhan berbunga yang hidup di lingkungan laut. Tumbuh‑tumbuhan ini hidup di habitat perairan pantai yang dangkal. Seperti hal­nya rumput di darat, mereka mempunyai tunas berdaun yang tegak dan tangkai‑tangkai yang merayap yang efektif untuk berbiak. Berbeda dengan tumbuh‑tumbuhan laut lainnya (alga dan rumput laut), lamun berbunga, berbuah dan meng­hasilkan biji. Mereka juga mempunyai akar dan sistem internal untuk mengangkut gas dan zat‑zat hara. Sebagai sumberdaya hayati, lamun banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.
Secara tradisional lamun telah dimanfaatkan untuk keranjang anyaman, dibakar untuk garam, soda atau penghangat, bahan isian kasur, atap, bahan kemasan, pupuk, isolasi suara dan suhu. Pada jaman modern ini, lamun dimanfaatkan antara lain sebagai penyaring limbah, stabilisator pantai, pupuk, makanan dan obat‑obatan.
Padang lamun berlaku sebagai daerah asuhan, pelindung dan tempat makan ikan, Avertebrata, dugong dan sebangsanya. Padang lamun juga berinteraksi dengan terumbu karang dan mangrove. Ekosistem lamun ini terdapat di banyak perairan pantai di negara kita. Di Kepulauan Seribu, misalnya, terdapat ekosistem ini yang berdampingan dengan mangrove dan terumbu karang. Ekosistem ini dikaitkan dengan kehadiran dugong karena tumbuh‑tumbuhan lamun menjadi makanannya.
5. Terumbu Karang
Di laut tropis, pada daerah neritik, terdapat suatu komunitas yang khusus yang terdiri dari karang batu dan organisme-organisme lainnya. Komunitas ini disebut terumbu karang. Daerah komunitas ini masih dapat ditembus cahaya matahari sehingga fotosintesis dapat berlangsung. Terumbu karang didominasi oleh karang (koral) yang merupakan kelompok Cnidaria yang mensekresikan kalsium karbonat. Rangka dari kalsium karbonat ini bermacammacam bentuknya dan menyusun substrat tempat hidup karang lain dan ganggang.
Hewan-hewan yang hidup di karang memakan organisme mikroskopis dan sisa organik lain. Berbagai invertebrata, mikro organisme, dan ikan, hidup di antara karang dan ganggang. Herbivora seperti siput, landak laut, ikan, menjadi mangsa bagi gurita, bintang laut, dan ikan karnivora.
Ekosistem air laut luasnya lebih dari 2/3 permukaan bumi ( + 70 % ), karena luasnya dan potensinya sangat besar, ekosistem laut menjadi perhatian orang banyak, khususnya yang berkaitan dengan REVOLUSI BIRU.
  • Ciri-ciri:
a)  Memiliki kadar mineral yang tinggi, ion terbanyak ialah Cl`(55%), namun kadar garam di laut  bervariasi, ada yang tinggi (seperti di daerah tropika) dan ada yang rendah (di laut beriklim dingin).
      b)      Ekosistem air laut tidak dipengaruhi oleh iklim dan cuaca.

4. Ekosistem Hutan Bakau/Mangrove       
Mangrove sebagai ekosistem didefinisikan sebagai mintakat (zona) antar-pasang-surut (pasut) dan supra (atas)-pasut dari pantai berlumpur di teluk, danau (air payau) dan estuari, yang didominasi oleh halofit berkayu yang beradaptasi tinggi dan terkait dengan alur air yang terus mengalir (sungai), rawa dan kali-mati (backwater) bersama-sama dengan populasi flora dan fauna di dalamnya. Di tempat yang tak ada muara sungai biasanya hutan mangrovenya agak tipis. Sebaliknya, di tempat yang mempunyai muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur dan pasir, biasanya mangrovenya tumbuh meluas.
Ekosistem ini mempunyai dua komponen lingkungan, yakni darat (terestrial) dan air (akuatik). Lingkungan akuatik pun dibagi dua, laut dan air tawar. Ekosistem mangrove dikenal sangat produktif, penuh sumberdaya tetapi peka terhadap gangguan. Ia juga dikenal sebagai pensubsidi energi, karena adanya arus pasut yang berperan menyebarkan zat hara yang dihasilkan oleh ekosistem mangrove ke lingkungan sekitarnya. Dengan potensi yang sedemikian rupa dan potensi-potensi lain yang dimilikinya, ekosistem mangrove telah menawarkan begitu banyak manfaat kepada manusia sehingga keberadaannya di alam tidak sepi dari perusakan, bahkan pemusnahan oleh manusia.
Ekosistem mangrove ditumbuhi sedikitnya oleh 89 jenis tumbuh-tumbuhan. Dari jumlah ini terdapat empat jenis yang dinamakan “strict mangrove”, yakni Avicennia, Excoecaria, Sonneratia dan Rhizophora. Selain ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan, ekosistem mangrove juga dihuni oleh berbagai jenis satwa. Sebagai contoh, jenis burung seperti Ardea cinerea (cangak abu), Nomenius schopus (gajahan sedang), Egretta sp. (kuntul), dan Larus sp. (camar). Satwa lainnya yang hidup di w:st="on"class="GramE"sana adalah Macaca fascicularis (kera ekor panjang), Varanus salvator (biawak), juga terdapat satwa yang hidup di dasar hutan mangrove seperti kepiting graspid dan ikan gelodong (Periohthalmus).
Hutan bakau biasanya terdapat di daerah pesisir pantai atau rawa-rawa. Pohon bakau mempunyai akar tunggang sebagai alat bernafas. Akar bakau sangat bermanfaat bagi microorganisme laut seperti zooplankton, vitoplankton, dan microorganisme lain. Karena akar bakau digunakan sebagai habitat dan sumber makanan yang sangat dibutuhkan bagi microorganisme tersebut.
ALIRAN ENERGI
          Energi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan kerja. Energi diperoleh organismee dari makanan yang dikonsumsinya dan dipergunakan untuk aktivitas hidupnya.  Cahaya matahari merupakan sumber energi utama kehidupan. Tumbuhan berklorofil memanfaatkan cahaya matahari untuk berfotosintesis. Organisme yang menggunakan energi cahaya untuk merubah zat anorganik menjadi zat organik disebut kemoautotrof Organisme yang menggunakan energi yang didapat dari reaksi kimia untuk membuat makanan disebut kemoautotrof Energi yang tersimpan dalam makanan inilah yang digunakan oleh konsumen untuk aktivitas hidupnya. Pembebasan energi yang tersimpan dalam makanan dilakukan dengan cara oksidasi (respirasi). 
       Golongan organisme autotrof merupakan makanan penting bagi organisme heterotrof, yaitu organisme yang tidak dapat membuat makanan sendiri misalnya manusia, hewan, dan bakteri tertentu. Makanan organisme heterotrof berupa bahan organik yang sudah jadi. Aliran energi merupakan rangkaian urutan pemindahan bentuk energi satu ke bentuk energi yang lain dimulai dari sinar matahari lalu ke produsen, konsumen primer, konsumen tingkat tinggi, sampai ke saproba di dalam tanah. Siklus ini berlangsung dalam ekosistem.
SIKLUS BIOGEOKIMIA 
          Materi yang menyusun tubuh organisme berasal dari bumf. Materi yang berupa unsurunsur terdapat dalam senyawa kimia yang merupakan Materi dasar makhluk hidup dan tak hidup.
Siklus biogeokimia atau siklus organikanorganik adalah siklus unsur atau senyawa kimia yang mengalir dari komponen abiotik ke biotik dan kembali lagi ke komponen abiotik. Siklus unsur-unsur tersebut tidak hanya melalui organisme, tetapi jugs melibatkan reaksireaksi kimia dalam lingkungan abiotik sehingga disebut siklus biogeokimia.
          Siklus-siklus tersebut antara lain: siklus air, siklus oksigen, siklus karbon, siklus nitrogen, dan siklus sulfur. Di sini hanya akan dibahas 3 macam siklus, yaitu siklus nitrogen, siklus fosfor, dan siklus karbon.

1. Siklus Nitrogen (N2)
     Gas nitrogen banyak terdapat di atmosfer, yaitu 80% dari udara. Nitrogen bebas dapat ditambat/difiksasi terutama oleh tumbuhan yang berbintil akar (misalnya jenis polongan) dan beberapa jenis ganggang. Nitrogen bebas juga dapat bereaksi dengan hidrogen atau oksigen dengan bantuan kilat/ petir. Tumbuhan memperoleh nitrogen dari dalam tanah berupa amonia (NH3), ion nitrit (N02- ), dan ion nitrat (N03- ).
         Beberapa bakteri yang dapat menambat nitrogen terdapat pada akar Legum dan akar tumbuhan lain, misalnya Marsiella crenata. Selain itu, terdapat bakteri dalam tanah yang dapat mengikat nitrogen secara langsung, yakni Azotobacter sp. yang bersifat aerob dan Clostridium sp. yang bersifat anaerob. Nostoc sp. dan Anabaena sp. (ganggang biru) juga mampu menambat nitrogen.

2. Siklus Fosfor
       Di alam, fosfor terdapat dalam dua bentuk, yaitu senyawa fosfat organik (pada tumbuhan dan hewan) dan senyawa fosfat anorganik (pada air dan tanah).
Fosfat organik dari hewan dan tumbuhan yang mati diuraikan oleh dekomposer (pengurai) menjadi fosfat anorganik. Fosfat anorganik yang terlarut di air tanah atau air laut akan terkikis dan mengendap di sedimen laut. Oleh karena itu, fosfat banyak terdapat di batu karang dan fosil. Fosfat dari batu dan fosil terkikis dan membentuk fosfat anorganik terlarut di air tanah dan laut. Fosfat anorganik ini kemudian akan diserap oleh akar tumbuhan lagi. Siklus ini berulang terus menerus. 

3. Siklus Karbon dan Oksigen
          Di atmosfer terdapat kandungan COZ sebanyak 0.03%. Sumber-sumber COZ di udara berasal dari respirasi manusia dan hewan, erupsi vulkanik, pembakaran batubara, dan asap pabrik. Karbon dioksida di udara dimanfaatkan oleh tumbuhan untuk berfotosintesis dan menghasilkan oksigen yang nantinya akan digunakan oleh manusia dan hewan untuk berespirasi.  Hewan dan tumbuhan yang mati, dalam waktu yang lama akan membentuk batubara di dalam tanah. Batubara akan dimanfaatkan lagi sebagai bahan bakar yang juga menambah kadar C02 di udara.
Di ekosistem air, pertukaran C02 dengan atmosfer berjalan secara tidak langsung. Karbon dioksida berikatan dengan air membentuk asam karbonat yang akan terurai menjadi ion bikarbonat. Bikarbonat adalah sumber karbon bagi alga yang memproduksi makanan untuk diri mereka sendiri dan organisme heterotrof lain. Sebaliknya, saat organisme air berespirasi, COz yang mereka keluarkan menjadi bikarbonat. Jumlah bikarbonat dalam air adalah seimbang dengan jumlah C02 di air.

Wednesday, 21 December 2011

Ekspedisi HMP MSP UNHAS Ke Pulau Cangke


Tim ekspedisi HMP MSP UNHAS siap berangkat ke Cangke

Selasa tanggal 12 Juli 2011 pukul 10.00 am saya bersama teman tim ekspedisi HMP MSP KEMAPI FIKP UNHAS memulai perjalanan menuju lokasi tujuan Pulau Cangke, kegiatan kali ini adalah salah satu di antara sekian banyaknya kegiatan untuk memperingati hari ulang tahun HMP MSP KEMAPI FIKP UNHAS yang ke-13. Namun diantara sekian banyaknya kegiatan, kegiatan inilah yang paling berkesan bukan karena penulis yang hatinya lagi berseri-seri  tapi melainkan karena kegiatan ini dilaksanakan di tempat yang berbeda dari yang lain yaitu di pulau. Mendengar nama pulau saja kami sudah sangat senang apa lagi bila sampai menginjakkan kaki di pulau. Bukannya kami menyesal berada diantara sekian juta mahluk yang hidup di hiruk pikuk kota metropolitan makassar, tapi setidaknya kami bisa bebas sejenak dari apa yang tersisa dari keliaran, saat yang kita lihat hanyalah hotel-hotel atau penginapan dari beton, besi dan plastik—atau mungkin malah keliaran yang dibuat-buat seperti nuansa alami yang tetap dijaga.
Suasana di tengah perjalanan........

Perjalananku ke Pulau Cangke kali ini lebih tambah menyenangkan karena aku berangkat dengan teman – teman yang lebih banyak. Kami berangkat dengan 13 orang antara lain aku sendiri sebagai ketua tim ekspedisi (Erul), Upi, Frengky, Yalfet, Ergi, Adit, Munir, Fajar, Rudi, Sabil, Ical , Sainal dan Zulung.

Santai bareng di deck kapalnya Gapuuurrrr.........

Kami berangkat dari secretariat HMP MSP KEMAPI FIKP UNHAS dengan menggunakan angkot ke Potere’. Setelah sampai ke potere’, kami masuk ke pelabuhan dengan membayar karcis. Tak lama kemudian, datanglah Gapur (nakhoda kapal) memberitahukan kami bahwa kapalnya bukan disini tapi di sebelah sana. “Oh….tidaaaak, Gapuuuur…..Gapur, kenapa tidak bilang dari tadi, sudah tonk meki bayar karcis masuk, jadi sia-sia dech”. Kami hanya mampu tersenyum dengan apa yang terjadi, tetapi kami tetap bersemangat dan mengangkat kembali barang ke tempat yang lain. Kemudian dari Potere’ kami menggunakan sebuah kapal kayu bermotor yang kecil. Kira – kira hampir 4 jam kami menunggu di kapal kayu tersebut untuk berangakat karena masih menunggu beberapa penumpang lagi. Dengan bau di Potere’ yang sangat tidak sedap, kami tetap bersabar menunggu, membuktikan bahwa kami ingin sekali menyukseskan ekspedisi yang pertama ini.
Yang mau skaliyyaaaa........

Mesin kapal telah dinyalakan dan kapal pun siap untuk berangkat, tetapi beberapa dari kami harus berada di dalam kapal agar kapal tidak terlalu goyang, termasuk aku, Upi, Munir, Adit, Yalfet, dan Fajar. Suara mesin kapal yang sangat berisik membuat kami yang di dalam merasakan hal yang kurang menyenangkan. Ditengah perjalanan ombak bertambah besar dan kapal juga bertambah goyang, di dalam kapal ada seorang ibu yang ingin menuju pulau Ballang Caddi’ karena ada pesta pernikahan disana. Ibu itu berkata: mauka ke Ballang Caddi’ karena mauki menikah anaknya pa’bagang yang ada di pulau Ballang Caddi’. Ibu itu pun terus menceritakan semua keluarganya dari anak hingga cucunya, walaupun kami tidak bertanya sedikit pun, tapi ibu ini telah membuat suasana di dalam kapal menjadi indah dan membuat kami semua bertambah semangat.
Singgah sejenak di pulau Karanrang.......

Setelah perjalanan yang lumayan jauh kapal pun mampir di Pulau Karanrang untuk menurunkan beberapa penumpang . Akhrinya kami yang di dalam kapal pindah ke atas kapal dan bergabung dengan teman – teman yang lain.
 Pulau Cangke terlihat samar – samar dari kejauhan yang membuat kami bersemangat lagi. Makin lama keindahan Pulau Cangke makin terlihat di tambah lagi dengan matahari terbenam dan membuat langit menjadi berwarna orange yang sangat indah seakan turut menyambut kedatangan kami. Dengan begitu sudah terbayarlah semua pengorbanan kami selama diperjalan yang kurang menyenangkan. Mungkin baru kali ini aku melihat matahari terbenam seindah ini tanpa tertutupi awan sedikit pun. Aku terus melihat matahari itu sampai tidak terlihat lagi. 
Tiba di Pulau Cangke....(beraksi ronk)

Akhirnya kami semua sampai dengan selamat di Pulau Cangke, tapi sayang kita semua belum dapat melihat keindahan Pulau Cangke yang sebenarnya karena hari mulai gelap. Beberapa dari kami mendirikan tenda sedangkan yang lainnya menyiapkan makan malam. Setelah makan malam kita semua menghabiskan malam di tepi pantai dan ditemani jutaan bintang yang kedap – kedip. Sambil menghangatkan badan di dekat api unngun buatan Ical dkk, kita semua bernyanyi dengan petikan gitarnya Frengky. Di pulau kecil ini dikelilingi lautan lepas. Pohon cemara tumbuh sempurna di atas pasir, menari indah terhembus semilir angin. ikan-ikan karang bermain-main di antara lautan luas. Bintang laut menerangi pesisir dengan diam. Sementara kami, menemani bulan dengan lantunan lagu-lagu kebebasan. Kebetulan malam itu air menjadi surut, sehingga ada beberapa anggota tim turun kelaut untuk mencari ikan, kepiting, teripang dan kima. Setelah semua anggota kelelahan, mereka pergi ke tenda untuk beristirahat, tetapi aku belum bisa tidur, kemudian aku pergi ke pinggir pantai untuk mendengarkan lagu dari handphone yang jaringannya hilang-hilang dan cash nya yang tinggal sedikit kasiank. Tak lama kemudian Sabil menghampiri saya, lalu kami berdua terdiam memandangi lautan. Beberapa saat kemudian, Sabil membacakan puisi lalu saya yang memperagakan setiap syair yang dibacakannya, sesekali kami tertawa karena beberapa puisi yang dibacakan tidak nyambung: hahahahhaha (suara itu yang sering terdengar). Selama 2 jam, kami bercanda dipinggir pantai sebelum tiba waktunya untuk beristirahat.
Pembentangan spanduk HMP MSP UNHAS.......

Pagi harinya beberapa dari kami bangun pagi untuk melihat matahari terbit dan ternyata matahari belum juga terlihat karena tertutup awan. Tak lama kemudian ada salah seorang dari penghuni pulau Cangke menghampiri kami untuk menawarkan cumi-cumi kepada kami, kemudian kami membelinya seharga Rp 30.000, agenda makanan pagi itu dari indomie+telur berubah menjadi cumi-cumi. Cumi-cumi tadi digoreng dan menghasilkan suara “cesst cesst cesst”. Setelah itu kami pun menghabiskan sarapan pagi. Perut kami pun telah terisi, jadi kami langsung saja berendam ke laut. Pagi hari hingga siang kami menghabiskan waktu di laut untuk berenang dan berjemur, karena katanya matahari pagi itu baik untuk kesehatan.

Gayamu rong....

Hati-hati banyak anjing, terkhusus yang paling tiiiiiittttt......

Eksperisikan gaya loe.....

Matahari mulai tinggi tapi cuaca tidak panas karena sepertinya mau hujan, padahal tidakji. Setelah puas berendam dan berenang di laut, Aku, Munir, dan Adit pergi kerumah Daeng Abu. Ia menceritakan kisah hidupnya kepada kami, Kisah mereka dimulai pada saat Dg Abu menderita penyakit kusta pada tahun 1972. saat itu Sitti Maidah sudah menjadi pendamping hidupnya. Mereka bertempat tinggal di Kecamatan Bungoro Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan. Pada masa itu, Dg Abu masih berumur 20-an, ia masih sangat muda, begitu pula Sitti Maidah. Pada saat kami datang kesana, sempat sesekali ia menirukan bahasa nippon (jepang) kepada kami semua untuk menunjukkan jaman kehidupannya pada saat ia masih berhubungan dengan masyarakat, tawa kami semua meledak, meruap-ruap diatas pasir, mendengar bahasa nippon (Jepang) yang ditirukan oleh Daeng Abu.
Masyarakat pada waktu itu menganggap bahwa kusta adalah penyakit kutukan. Kusta diibaratkan sebagai sebuah azab dari Tuhan terhadap kelalaian manusia. Bahkan lebih kejamnya lagi seseorang yang menderita penyakit ini dianggap sebagai seorang pendosa kelas berat layaknya pemerkosa atau perompak kejam di lautan. Walhasil, Dg Abu diasingkan ke sebuah pulau tak berpenghuni. Yang konon, di pulau tersebutlah dahulu orang-orang yang dianggap “kena kutukan” dibuang dan diasingkan masyarakat.

Silaturahmi dengan warga setempat.....

Cangke. Nama sebuah dataran yang tidak terlalu luas. Mungkin hanya sebesar setengah lapangan sepak bola. Di tengahnya dipenuhi pohon-pohon cemara yang cukup rindang, pasir mutiara yang halus dan memutih sempurna melingkarinya bagai cincin. Setelahnya, karang-karang ditemani bintang laut– biru, anemon, dan landak laut hitam disiang hari, sementara dimalam hari ikan-ikan karang berhenti sejenak untuk tidur dalam damai, terkulai lemas dalam arus terumbu karang yang tertutup air pasang. Lebih dari itu, hanya biru yang makin keluar makin menghitam. Kelam. Dahulu kala, setelah “hukuman” ditegakkan. Berangkatlah Dg Abu ke pulau tak bertuan itu. Tetapi ia tak sendiri, Sitti Maidah ikut pula menemaninya.
Ditahun-tahun pertama, mereka melalui masa-masa yang sangat sulit. Bayangkan saja, di pulau ini tidak ada air tawar, tidak ada listrik, dan bahkan untuk menanam sayuran pun tidak bisa karena tidak ada tanah, hanya pasir yang tertutup rerumputan liar. Saya tidak bisa bayangkan, bagaimana kalau teman-teman yang suka online, nonton tv, jalan-jalan ke mall tinggal di pulau ini yang jauh dari keramaian.  Heemm…..pasti stress. Tapi bagaimana dengan Daeng Abu kasiank, yang tinggal selama 39 tahun di Pulau ini. Coba bayangkan!!!!!!
Lobsternya mirip sainal dan frengky......

Mereka bertahan dengan mencari ikan dan menjualnya secara barter dengan keperluan rumah tangga, makanan dan air bersih kepada nelayan-nelayan yang kadang singgah beristirahat setelah selesai berlayar mencari cumi-cumi atau ikan. Atau saat datang seorang dokter dari pulau sebelah yang mengobati penyakit Dg Abu. Tampaknya, sekarang ia pun sudah sembuh total. Walau penyakit itu masih menyisakan bekas luka di jari-jarinya, dan (Allahu a’lam) pula luka dalam kenangannya bersama keluarga yang ia tinggalkan dahulu. Selama 39 tahun mereka tinggal di sebuah gubuk yang hanya muat untuk mereka berdua. Baru beberapa tahun terakhir setelah anak mereka besar dan mapan di pulau Palla (sebelah utara pulau cangke), merekapun dibuatkan semacam pemondokan sederhana. Tetapi, tak lama setelah itu Dg Abu terserang kebutaan saat ia menyelam di dasar laut. Kini tinggal Sitti Maidah dan anaknya, yang pula harus menghidupi keluarganya dipulau Palla. Sang anak sampai sekarang, hampir setiap sore dengan penghasilannya yang pas-pasan, menyisihkan sebagian penjualan ikan untuk membelikan kebutuhan ayahanda dan ibunda tercinta di pulau Cangke ini. Tapi itupun masih tergantung tangkapan.
Merasa ada yang kurang dari dirinya. Setelah setiap hari selama 39 tahun mereka menjalankan hampir semua ritual bersama. Sitti Maidah, sosok wanita tua dengan rambut mulai memutih, dan dari matanya yang tajam menerjang-nerjang alam. membuat 2 rakit dengan tangannya. Untuk sekedar mencari ikan ditengah lautan, agar Dg Abu bisa ikut mendayung sementara ia duduk memancing kala malam. Tak terbayangkan pengabdian tulus yang telah diberikan Daeng Abu (70 tahun) terhadap alam ini. Keterbatasan fisik sebagai seorang penyandang tuna netra tak membuatnya surut untuk berbuat baik bagi alam ini seperti yang telah diajarkan Islam untuk senantiasa menjaga lingkungan.
Tanpa kenal lelah dan pamrih, Daeng Abu menghijaukan kembali Pulau Cangke yang didiaminya sejak tahun 1970-an. Daeng Abu mendiami pulau itu saat masih kosong bersama istrinya.   Awalnya, pulau itu kering kerontang. Hatinya terasa tak tega melihat kondisi alam yang rusak itu. Dia pun mulai menanaminya dengan pohon cemara laut dan berbagai tumbuhan hijau lain. Hasilnya, kini setelah 39 tahun, Pulau Cangke telah berubah menjadi satu pulau yang hijau, bak hutan kecil di tengah laut. Hewan dan manusia pun sekarang banyak yang memanfaatkan kerindangan pulau itu. Pulau itu kini menjadi tempat bertelur secara alamiah bagi penyu-penyu dan rumah bagi ribuan spesies burung. Meskipun tak mampu melihat, tiap hari Daeng Abu mengawasi semua tanaman di Pulau Cangke dan suka mengingatkan para nelayan yang singgah untuk menjaga kebersihan pulau.
Dg. Abu dan Istrinya..

Dg. Abu berbagi kisah....

Atas perjuangannya yang tak kenal lelah itu, Daeng Abu pun bakal menerima penghargaan dari Dompet Dhuafa. Berdasarkan keterangan yang diterima Republika, penghargaan yang khusus diberikan kepada insan-insan penuh dedikasi yang mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk orang lain, ini akan diberikan malam ini di Jakarta. Terima kasih Daeng atas kerja kerasnya menjaga alam ini. Kami pun di persilahkan untuk berfoto-foto dengan piagam penghargaan yang di berikan kepada Daeng Abu. Setelah mendengarkan cerita Daeng abu, kami kembali ke tenda untuk beristirahat dan bersantap siang menggunakan indomie+telur+pemandanan yang indah. MANTAP.

Bersih pantai rong....

 Hari mulai sore kami pun melakukan bersih pantai dengan mencari botol dan sampah-sampah plastic yang ada di sekitar pantai untuk dikumpulkan dan di bakar. Sewaktu mengumpulkan sampah, kami dilihat oleh Daeng Abu, kemudian ia memberikan beberapa kima yang dimilikinya kepada kami. Tapi yang membuatku takjub adalah ketika ia  memberikan kima sebagai hadiah bagi kami, sementara mereka dapat menyimpan kima-kima tersebut untuk makan malam atau untuk dijual.

Para Peneliti Penyu....

Setelah kami sudah merasa leleh, kami pun foto-foto sambil menikmati matahari terbenam. Memang Pulau Cangke tempat yang indah, jauh dari keramaian, dan semuanya masih alami. Inilah yang membuatku rindu akan tempat ini dan tidak membuat bosan buatku.
Saat itu malam terakhir kami berada disini. Sebuah ekspedisi yang mulanya hanya untuk memenuhi tuntutan proposal ternyata membawa kami lebih jauh di dalamnya sebuah nilai-nilai kemanusian yang sudah susah kami temui di kota.
Purnama makin terang. Menguning di antara hitam. Terjaga di atas cahaya-cahaya yang membintang dari pulau Pala. Di depan perapian, suara nyanyian kami menggema di antara malam. sibuk sendiri pula angin mengaum-ngaum tunjukkan kebesaran lautan. kopi hitam pekat terangkat bersama, aku beranjak berdiri mendekat keperapian dan membayangkan seseorang yang jauh disana seraya berkata; “SELAMAT MALAM KESETIAAN………..
Sunset broowwww.....

Di pagi harinya kami bersiap-siap untuk kembali ke Makassar, tak lama kemudian Gapur pun datang menjemput kami, kami pun berpamitan dengan Daeng Abu dan istrinya sambil berfoto bersama.  Terima Kasih Daeng Abu atas kebaikannya selama kami tinggal di pulau ini. Hanya mereka yang hidup selama 39 tahun dipulau ini. Kisah Dg abu dan Sitti maidah. Sebuah pelajaran kehidupan yang berharga tentang sebuah adaptasi manusia terhadap alam (lautan), terhadap nilai sebuah keluarga, terhadap nilai-nilai dasar manusia. Antara kasih sayang, perhatian, kesetiaan, tanggung jawab, bahkan cinta.

Tim ekspedisi HMP MSP pun naik ke perahu dan sesekali memalingkan wajah melihat panorama pulau Cangke yang sangat indah, pasir putih mutiara akan menjemput kita di bibir pantai dengan deburan ombak yang bergulung pelan memecah di tepian. Air laut yang bening memberi pemandangan luar biasa, ikan-ikan aneka warna saling berkejaran diantara karang dan rumput laut. Dari kejauhan sesekali kawanan lumba-lumba berakrobat melawan riak gelombang. Angin sepoi-sepoi mengelus lembut daun-daun cemara yang memenuhi daratan pulau memberi kesejukan tersendiri meski matahari masih terik. Kita dapat menikmati sunrise dan sunset di kedua sisinya. Semuanya begitu indah dan menakjubkan.
Di dalam kapal saya kembali berpikir dan merenung: Ada puluhan pulau kecil di Makassar, banyak juga di antara pulau-pulau itu yang tak berpenghuni. Mungkin ini semua hanya soal waktu hingga pemerintah menyadari potensi wisata yang bisa diraup dari keberadaan pulau-pulau itu. Potensi wisata, sebuah istilah lain untuk menyatakan eksploitasi alam liar, mengomodifikasi alam bebas. Apa yang tersisa dari keliaran, saat yang kita lihat hanyalah hotel-hotel atau penginapan dari beton, besi dan plastik—atau mungkin malah keliaran yang dibuat-buat seperti nuansa alami yang tetap dijaga. Manusia tidak lagi hidup dalam alam, manusia tidak lagi hidup bersanding bersama makhluk lain dalam alam, bangsa penjarah hidup dari penghisapannya atas alam dan semua makhluk hidup di dalamnya. Bangsa penjarah bahkan hidup dari saling hisap di antara sesama mereka sendiri.
Perpisahan dengan keluarga Dg. Abu....

Di bawah kultur bangsa penjarah, dimana kita tinggal, pernahkah Anda bertemu dengan seseorang yang merasa hidupnya berkecukupan dan memuaskan? Kita selalu mengejar sesuatu, uang, produk, usia panjang, resep awet muda, jaminan, asuransi, kenyamanan, status, gelar ilusi.
Saat kita mendapatkannya, kita selalu menginginkan lebih dan jauh lebih banyak lagi. Kita, bangsa penjarah, tak mengenal kata puas. Hidup kita, adalah hidup yang selalu berada di tengah kekurangan, sebanyak apapun material yang kita miliki. Kita selalu dahaga, tetapi kita selalu mencari cairan yang tak pernah dapat menghilangkan dahaga. Banyak orang menyebut situasi tersebut sebagai sifat dasar manusia—sesuatu yang kuanggap kebohongan, mitos masyarakat modern, yang dengan mudah asumsinya runtuh begitu kita mempelajari antropologi dan arkeologi atau sejarah hidup manusia.  Tapi apabila kita berbicara mengenai masyarakat modern, ketidakpuasan itu memang demikian adanya. Sejauh mata memandang, kita selalu menemui hal tersebut. Sesuatu yang menjadi kewajaran dan karenanya menjadi kebenaran. Semua hal tersebut adalah kebenaran. Kebenaran yang runtuh begitu aku menjejakkan kaki di pulau Cangke setelah beberapa jam mengarungi lautan dengan sebuah kapal kecil...
Kapal-kapal besar berlomba menangkap ikan sebanyak mungkin untuk memenuhi dompet-dompet mereka dengan uang; nelayan-nelayan kecil yang tersingkir oleh penjarahan kapal-kapal besar, mengadopsi nilai yang sama, mereka menggunakan bom-bom ikan yang merusak dan membunuh semua makhluk yang berada dalam jangkauan ledakan tanpa toleransi. Kita hanya mengenal satu kebenaran: engkau harus menjadi penjarah untuk dapat terus hidup. Semua berlomba tak lagi demi kebutuhan bertahan hidup, semua berkompetisi demi uang yang tak pernah cukup mereka dapatkan. Maka di tengah kenyataan, dan kebenaran, seperti demikian amatlah menyejukkan jawaban pasangan nelayan sederhana itu. Aku tercenung. Daeng Abu mengingatkanku bahwa manusia hanyalah abu yang akan kembali menjadi abu, karenanya pengejaran tanpa akhir materi hanyalah ilusi dan karenanya sia-sia.
Kini, di sini, di ruang kerjaku yang berada di secret HMP MSP FIKP UNHAS, aku menatap deretan buku di samping meja komputer, dan barang-barang elektronik lainnya sangat jauh berbeda dengan apa yang ada di pulau Cangke. Oleh karena itu, bermimpilah tentang apa yang ingin kamu impikan, pergilah ke tempat tempat kamu ingin pergi, jadilah seperti yang kamu inginkan, karena kamu hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan untuk melakukan hal-hal yang ingin kamu lakukan.


"Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan; jangan pula lihat masa depan dengan ketakutan; tapi lihatlah sekitar anda dengan penuh kesadaran"


 “Good Luck”


Friday, 16 December 2011

POTENSI PERIKANAN DI INDONESIA



A. LATAR BELAKANG
Dunia mengakui, bahwa indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dimana terdiri dari kurang lebih 17.507 pulau, dengan garis pantai sekitar 81.000 km. Indonesia memiliki luas wilayah sekitar  3,1 juta km2 dimna perairan teritorialnya 0.3 juta dan perairan nusantaranya 2,8 juta km2.Dengan potensi fisik ini, tentunya kita harus berbangga atas potensi ini, serta mampu mengelolanya dengan baik. Sayangnya, dengan potensi yang cukup besar ini, kita (bangsa indonesia) belum mampu menunjukan kerdiriannya sebagai bangsa bahari. Indikasinya sangat jelas, sampai hari ini masyarakat kita yang berprofesi sebagai nelayan masih hidup di bawah garis kemiskinan. Harusnya dengan potensi kekayaan bahari tersebut, sudah mampu membuat bangsa ini sejahtera. Ini merupakan bukti kegagalan pemerintah kita dalam penegelolaan sektor kelautan dan perikanan. Sekaligus mengindikasikan perhatian pemerintah terhadap sektor ini masih dipandang sebelah mata.
Apa pasal yang membuat bangsa ini belum mapan dalam sektor bahari? Indikasi kecilnya adalah belum adanya kesadaran kolektif bangsa ini akan arti pentingnya sektor kelautan kita. Dari segi pengambil kebijakan misalnya, departemen yang secara khusus menangani masalah kebaharian yakni kementerian Kelautan dan Perikanan kita baru ada pasca tumbangnya orde baru. Itu baru pada persoalan penentu kebijakan. Tentunya potensi fisik tersebut bukanlah hanya menjadi kebanggaan saja. Akan tetapi potensi itu harus dikelola untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat. Sayangnya, sampai sekarang potensi sumberdaya perikanan kita masih belum dikelola secara efektif. Layaknya raksasa yang masih tidur, demikianlah potensi sumber daya perikanan kita.
Potensi lain yang juga belum tergarap adalah pemanfaatan wilayah pesisir dan laut sebagai penghasil daya energi, belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal wilayah pesisir dan lautan merupakan salah satu sumber energi alternatif yang sangat ramah lingkungan. Sumber energi yang dapat dimanfaatkan antara lain berupa; arus pasang surut,, gelombang, perbedaan salinitas, angin, dan pemanfaatan perbedaan suhu air laut di lapisan permukaan dan lapisan dalam perairan atau yang kita kenal dengan OTEC (Ocean Thermal Energy Convertion).

B. Rumusan masalah
1.      Apa sajakah hasil  sumber daya perikanan laut?
2.      Bagaimanakah kondisi perikanan laut di Indonesia?
3.      Bagaimanakah pemanfaatan dan pengolahannya?
4.      Bagaimanakah upaya pemeliharaan yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah?

C. Sumber Daya Perikanan Laut
 Berbagai jenis sumber daya perikanan laut di Indonesia :
Ikan menurut UU adalah semua organisme yang sebagian maupun seluruh siklus hidupnya  berada di air.
  1. ikan
Sumberdaya ikan di perairan Indonesia terdapat kurang lebih 7000 jenis ikan, diantaranya :
a.       Jenis Ikan karang dan ikan dasar laut : Sunu, kerapu, laccukang, najong, sinrili, tenggiri, losong-losong, dll. Eksploitasi 80.082 ton/tahun.
b.      Jenis Ikan Permukaan laut : cakalang, banjara, katombong, simbula, layang, katamba, mairo, tembang, cumi-cumi, dll. Eksploitasi 3.163.630/tahun, sedang cumi-cumi (328.960 ton/pertahun)
  1. Kerang-kerangan
Meliputi Sub-jenis : batu laga, lobo, lola, kima, kerang mutiara, kepala kambing, mabe.
  1.  Udang
Meliputi Sub-jenis : Udang bambu, udang mutiara, udang nangka.
  1. Penyu
Meliputi Sub-jenis : Penyu sisik, penyu biasa, dll.
  1. Kepiting
  2. Teripang : teripang susu, teripang hitam, teripang batu, teripang cappi, dll.
  3. Jenis-jenis karang, mis : karang batu, karang bunga, karang tinggi, karang keriting, dll.

D. KONDISI PERIKANAN DI NEGARA KITA
Kondisi perikanan saat ini sangat mengkhawatirkan dengan adanya pencurian ikan (ilegal fishing) di perairan Indonesia menjadi sangat marak. Kegiatan penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal berbendera asing di perairan indonesia, bukan terjadi beberapa tahun terakhir ini saja. Akan tetapi kegiatan ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun. Kapal berbendera asing tersebut menyamar sebagai kapal nelayan indonesia, ada juga yang menggunakan surat ijin penangkapan palsu. Harus kita akui juga, bahwa kebijakan kelautan kita yang masih longgar, sehingga memungkinkan kapal-kapal asing untuk masuk menjarah hasil laut kita. Menurut Sudarmin (Fajar, 10/7) bahwa banyak faktor yang teridentifikasi sebagai penyebab terjadinya illegal fishing di perairan indonesia yaitu: (1) Luasnya potensi laut yang belum terolah, (2) Peluang bisnis ikan yang menggiurkan, (3) Kelemahan penegakan hukum, (4) Mentalitas aparat, dan (5) Hambatan dari faktor perundang-undangan. Ekonom senior Kwik Kian Gie (Kompas, 26/3/2005) mengatakan bahwa kerugian negara akibat pencurian ikan serta penambangan pasir secara ilegal selama ini yakni sebesar Rp 76,5 triliun. Angka kerugian negara di sektor perikanan menempati urutan kedua setelah kerugian dari sektor pajak yang mencapai angka sebesar Rp 215 triliun.
Maraknya pencurian ikan secara ilegal (ilegal fishing) oleh kapal asing merupakan fenomena yang kontras dan menyakitkan hati masyarakat kita. Betapa tidak kekayaan laut kita dengan seenaknya dirampas oleh nelayan asing, sementara nelayan kita tidak bisa menikmati hasil laut sendiri. Data Kompas (27/9) menyebutkan bahwa Thailand merupakan salah satu negara yang memiliki kapal penangkap ikan terbanyak yang beroperasi secara ilegal sebanyak 500 unit. Sedangkan yang legal sebanyak 306 unit. Dari hasil penagkapan itu, Thailand mampu memproduksi hasil tangkapan dengan total penangkapan sebesar 72.540 ton/tahun, meliputi 27.540 ton ditangkap secara legal, sisanya 45.000 ton merupakan hasil tangkapan secara ilegal. Hasil tangkapan tersebut dibawa langsung ke Thailand. Ironisnya lagi selama ini, indonesia sebagai pengambil kebijakan sekaligus sebagai penghasil ikan justru tidak mampu berbuat banyak. Bukan rahasia umum lagi, kalo model kerja sama seperti ini cenderung menguntungkan pihak asing. Hal ini mengingatkan kita pada model kerja sama dengan perusahan pertambangan asing (freeport, INCO dan perusahaan sejenis dengan model pengelolaan Trans National Corporate/TNC) dimana kita hanya mengandalkan atau berharap pada pajak perijinan pengoperasian saja. Demikian juga dengan sektor perikanan kita, hanya berharap pada pajak perijinan pengoperasian kapal sesuai dengan penggunaan alat tangkap saja. Dalam setahun, untuk alat tangkap jenis pukat dikenakan biaya 167 dollar AS/Gross Ton (GT), alat tangkap jenis pursen 254 dollar AS/GT dan alat tangkap gilnet sebesar 54 dollar AS/GT. Jika dilihat dari hasil transaksi perdagangan produk perikanan dunia senilai 70 miliar dollar AS/tahun, indonesia hanya mampu meraup 2,2 miliar dollar AS atau sekitar 2,8 persen. Sebaliknya Thailand mampu meraup 4 miliar dollar AS dan Cina mendapatkan porsi 25 miliar dollar AS (Kompas, 27/9). Oleh karenanya, sungguh sesuatu yang ironis jika sekiranya kita masih mengangap sebagai negara bahari, sementara hasil-hasil perikanan di bawa kabur oleh kapal asing (negara lain).
Laut kita memiliki karakteristik yang sangat spesifik Dikatakan spesifik, karena memiliki keaneragaman biota laut (ikan dan vegetasi laut) dan potensi lainnya seperti kandungan bahan mineral. Dalam definisi undang-undang no 31 tahun 2004 tentang perikanan, dikatakan bahwa ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebahagian hidupnya berada dalam lingkungan perairan. Sumber daya perikanan, merupakan hasil kekayaan laut yang memiliki potensi besar untuk menambah devisa negara. Menurut Rohmin Dahuri, bahwa potensi pembangunan pesisir dan lautan kita terbagi dalam tiga kelompok yaitu: (1) sumber daya dapat pulih (renewable recorces), (2) sumber daya tak dapat pulih (non-renewable recorces) dalam hal ini mineral dan bahan tambang, (3) jasa-jasa lingkungan (Environmental service). Sayangnya ketiga potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal.
Sumberdaya dapat pulih terdiri dari ikan dan vegetasi lainnya. Namun yang menjadi primadona kita selama ini adalah pada sebatas ikan konsumsi seperti ikan pelagis, ikan demersal, ikan karang, udang dan cumi-cumi. Sedangkan untuk vegetasinya            adalah terumbu karang, padang lamun, rumput laut, dan hutan mangrove. Sumber daya perikanan laut sebagai sumber daya yang dapat pulih sering kita salah tafsirkan sebagai sumber daya yang dapat eksploitasi secara terus menerus tanpa batas. Dalam data Ditjen Perikanan, (1995), Potensi sumber daya perikanan laut di indonesia terdiri dari sumber daya perikanan pelagis besar dengan potensi produksi sebesar 451.830 ton/tahun dan pelagis kecil sebesar 2.423.000 ton/tahun sedangkan sumberdaya perikanan demersal memiliki potensi produksi sebesar 3.163.630 ton/tahun, udang sebesar 100.728 ton/tahun, ikan karangdengan potensi produksi sebesar 80.082 ton/tahun dan cumi-cumi sebesar 328.968 ton/tahun. Dengan demikian potensi lestari sumber daya perikanan laut dengan tingkat pemanfaatan baru sekitar 48%.
Sementara itu, potensi vegetasi biota laut juga sangat besar. Salah satunya adalah terumbu karang. Dimana terumbu karang ini memilki fungsi yang sangat startegis bagi kelangsungan hidup ekosistem laut yakni fungsi ekologis yaitu sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik, tempat pemijahan, tempat bermain dan asuhan berbagai biota. Terumbu karang juga menghasilkan produk yang memiliki nilai ekonomis penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang dan kerang mutiara Data Ditjen Perikanan tahun 1991 menunjukan, potensi lestari sumber daya ikan pada terumbu karang di perairan indonesia diperkirakan sebesar 80.802 ton/km2/tahun, dengan luas total terumbu karang 50.000 km2. Vegetasi lainnya adalah rumput laut. Rumput laut memiliki potensi lahan untuk budidaya sekitar 26.700 ha dengan kemampuan potensi produksi sebesar 482.400 ton/tahun (Ditjen Perikanan, 1991).
Disamping potensi sumber daya dapat pulih (renewable recources), wilayah pesisir dan laut kita juga memiliki potensi sumber daya tak terbaharukan (non-renewable recources). Potensi ini meliputi mineral dan bahan tambang diantaranya berupa minyak, gas, batu bara, emas, timah, nikel, bauksit dan juga granit, kapur dan pasir. Potensi lain yang tidak kalah pentingnya lagi adalah kawasan pesisir dan laut kita sangat potensial untuk pengelolaan jasa lingkungan (environmental service).yang dimaksud dengan jasa lingkungan adalah pemanfaatan kawasan pesisir dan lautan sebagai sarana rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, kawasan perlindungan dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi ekologis lainnya.
Potensi lain yang juga belum tergarap adalah pemanfaatan wilayah pesisir dan laut sebagai penghasil daya energi, belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal wilayah pesisir dan lautan merupakan salah satu sumber energi alternatif yang sangat ramah lingkungan. Sumber energi yang dapat dimanfaatkan antara lain berupa; arus pasang surut,, gelombang, perbedaan salinitas, angin, dan pemanfaatan perbedaan suhu air laut di lapisan permukaan dan lapisan dalam perairan atau yang kita kenal dengan OTEC (Ocean Thermal Energy Convertion).
Gambaran potensi wilayah laut dan pesisir kita tersebut hanyalah sebahagian kecil yang dimanfaat secara optimal. Tentunya masih banyak potensi lain yang dapat dikembangkan guna kemakmuran rakyat. Namun sangat disayangkan potensi sumber daya pesisir dan lautan belum bisa mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat khususnya nelayan. Hal yang terjadi justru sebaliknya, ditengah kebanggaan kita sebagai bangsa bahari, justru nelayan kitalah yang paling termarjinalkan. Suatu fenomena yang kontras. Rohmin Dahuri pernah mengatakan, seandainya saja potensi wilayah pesisir dan laut dikelola secara baik maka hasilnya akan mampu membayar utang luar negeri kita yang sampai hari ini belum bisa terbayarkan. Namun apa boleh buat, model pengelolaan wilayah pesisir dan laut selama ini sangat berorientasi pada aspek eksploitasi. Hal ini terlihat jelas selama pemerintahan orde baru. Kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut hanya sebatas untuk pemenuhan pundi uang bagi negara. Sementara pengelolaan secara terpadu dan berkelanjutan belum sepenuhnya dilakukan. Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan bisa jadi suatu saat nanti akan menjadi penyedia primer bahan pangan. Tidak berlebihan kiranya, mengingat jumlah penduduk yang meningkat tiap tahunnya serta semakin kurangnya lahan pertanian akibat adanya aktivitas pembangunan perumahan dan jalan. Dengan demikian mau tidak mau, suka tidak suka potensi sumberdaya wilayah pesisir dan lautan akan menjadi kiblat ekonomi indonesia masa depan. Jika potensi kekayaan ini dibiarkan merana tidak dikelola dengan baik, maka indonesia sebagai negara bahari bisa jadi hanya tinggal nama.
E. Fenomena ilegal fishing Di negara bahari
Sudah bukan rahasia umum lagi, kalau fenomena pencurian ikan (ilegal fishing) di perairan Indonesia menjadi sangat marak. Kegiatan penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal berbendera asing di perairan indonesia, bukan terjadi beberapa tahun terakhir ini saja. Akan tetapi kegiatan ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun. Kapal berbendera asing tersebut menyamar sebagai kapal nelayan indonesia, ada juga yang menggunakan surat ijin penangkapan palsu. Harus kita akui juga, bahwa kebijakan kelautan kita yang masih longgar, sehingga memungkinkan kapal-kapal asing untuk masuk menjarah hasil laut kita. Menurut Sudarmin (Fajar, 10/7) bahwa banyak faktor yang teridentifikasi sebagai penyebab terjadinya illegal fishing di perairan indonesia yaitu: (1) Luasnya potensi laut yang belum terolah, (2) Peluang bisnis ikan yang menggiurkan, (3) Kelemahan penegakan hukum, (4) Mentalitas aparat, dan (5) Hambatan dari faktor perundang-undangan. Ekonom senior Kwik Kian Gie (Kompas, 26/3/2005) mengatakan bahwa kerugian negara akibat pencurian ikan serta penambangan pasir secara ilegal selama ini yakni sebesar Rp 76,5 triliun. Angka kerugian negara di sektor perikanan menempati urutan kedua setelah kerugian dari sektor pajak yang mencapai angka sebesar Rp 215 triliun.
Maraknya pencurian ikan secara ilegal (ilegal fishing) oleh kapal asing merupakan fenomena yang kontras dan menyakitkan hati masyarakat kita. Betapa tidak kekayaan laut kita dengan seenaknya dirampas oleh nelayan asing, sementara nelayan kita tidak bisa menikmati hasil laut sendiri. Data Kompas (27/9) menyebutkan bahwa Thailand merupakan salah satu negara yang memiliki kapal penangkap ikan terbanyak yang beroperasi secara ilegal sebanyak 500 unit. Sedangkan yang legal sebanyak 306 unit. Dari hasil penagkapan itu, Thailand mampu memproduksi hasil tangkapan dengan total penangkapan sebesar 72.540 ton/tahun, meliputi 27.540 ton ditangkap secara legal, sisanya 45.000 ton merupakan hasil tangkapan secara ilegal. Hasil tangkapan tersebut dibawa langsung ke Thailand. Ironisnya lagi selama ini, indonesia sebagai pengambil kebijakan sekaligus sebagai penghasil ikan justru tidak mampu berbuat banyak. Bukan rahasia umum lagi, kalo model kerja sama seperti ini cenderung menguntungkan pihak asing. Hal ini mengingatkan kita pada model kerja sama dengan perusahan pertambangan asing (freeport, INCO dan perusahaan sejenis dengan model pengelolaan Trans National Corporate/TNC) dimana kita hanya mengandalkan atau berharap pada pajak perijinan pengoperasian saja. Demikian juga dengan sektor perikanan kita, hanya berharap pada pajak perijinan pengoperasian kapal sesuai dengan penggunaan alat tangkap saja. Dalam setahun, untuk alat tangkap jenis pukat dikenakan biaya 167 dollar AS/Gross Ton (GT), alat tangkap jenis pursen 254 dollar AS/GT dan alat tangkap gilnet sebesar 54 dollar AS/GT. Jika dilihat dari hasil transaksi perdagangan produk perikanan dunia senilai 70 miliar dollar AS/tahun, indonesia hanya mampu meraup 2,2 miliar dollar AS atau sekitar 2,8 persen. Sebaliknya Thailand mampu meraup 4 miliar dollar AS dan Cina mendapatkan porsi 25 miliar dollar AS (Kompas, 27/9). Oleh karenanya, sungguh sesuatu yang ironis jika sekiranya kita masih mengangap sebagai negara bahari, sementara hasil-hasil perikanan di bawa kabur oleh kapal asing (negara lain).

F. Nelayan kita yang merana
Seperti kita ketahui, nasib buruh, petani dan nelayan kita sudah dapat dipastikan, mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Kelompok yang paling menikmati adalah mereka yang memiliki modal besar (pengusaha) dan dekat dengan kekuasaan. Kemiskinan nelayan sepertinya menjadi benang kusut yang sulit diurai. Kebijakan pemerintah yang pro nelayan mutlak dilakukan untuk mendorong tingkat kesejahteraan nelayan kita. Beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan antara lain : (1) rendahnya tingkat teknologi penangkapan ; (2) kecilnya skala usaha ; (3) belum efisiennya sistem pemasaran hasil ikan dan (4) status nelayan yang sebagian besar adalah buruh. Oleh karenanya pembangunan infrastruktur nelayan bantuan alat penagkapan ikan serta membantu dalam pemasaran hasil tangkap adalah mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan. Selain itu, harus ada payung hukum yang melindungi aktivitas penangkapan nelayan lokal serta pengaturan atau pembatasan penangkapan bagi kapal asing dan kapal-kapal besar serta harus ada undang-undang yang mengatur batas wilayah kita dengan batas wilayah teritotial negara lain. Hal ini perlu, guna menghindarkan konflik nelayan lokal dan nelayan asing. Kebijakan perikanan yang pro nelayan adalah suatu keharusan, jika tidak maka nelayan kita akan merana akibat ketidak becusan pemerintah dalam mengelola wilayah pesisir dan laut kita. Semoga saja!.

G. UPAYA PENCEGAHAN
·         Illegal fishing
  1. Mempertegas peraturan-peraturan khususnya undang-undang yang   mengatur tentang illegal fishing.
  2. Memperkuat dan meningkatkan pengawasan wilayah perairan.
  3. Menambah sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan pengawasan wilayah perairan.
·         Keadaan nelayan yang hidup dalam kemiskinan.
  1. Pemberian bantuan modal Kerja bagi para nelayan
  2. Memberikan penyuluha-penyuluhan yang dapat meningktkan kegiatan  produksi mereka.
  3. Membangun sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan penangkapan maupun  pasca panen.