A. LATAR BELAKANG
Dunia
mengakui, bahwa indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dimana
terdiri dari kurang lebih 17.507 pulau, dengan garis pantai sekitar 81.000 km.
Indonesia memiliki luas wilayah sekitar
3,1 juta km2 dimna perairan teritorialnya 0.3 juta dan perairan
nusantaranya 2,8 juta km2.Dengan potensi fisik ini, tentunya kita
harus berbangga atas potensi ini, serta mampu mengelolanya dengan baik.
Sayangnya, dengan potensi yang cukup besar ini, kita (bangsa indonesia) belum mampu menunjukan
kerdiriannya sebagai bangsa bahari. Indikasinya sangat jelas, sampai hari ini
masyarakat kita yang berprofesi sebagai nelayan masih hidup di bawah garis
kemiskinan. Harusnya dengan potensi kekayaan bahari tersebut, sudah mampu membuat
bangsa ini sejahtera. Ini merupakan bukti kegagalan pemerintah kita dalam
penegelolaan sektor kelautan dan perikanan. Sekaligus mengindikasikan perhatian
pemerintah terhadap sektor ini masih dipandang sebelah mata.
Apa
pasal yang membuat bangsa ini belum mapan dalam sektor bahari? Indikasi
kecilnya adalah belum adanya kesadaran kolektif bangsa ini akan arti pentingnya
sektor kelautan kita. Dari segi pengambil kebijakan misalnya, departemen yang
secara khusus menangani masalah kebaharian yakni kementerian Kelautan dan
Perikanan kita baru ada pasca tumbangnya orde baru. Itu baru pada persoalan
penentu kebijakan. Tentunya potensi fisik tersebut bukanlah hanya menjadi
kebanggaan saja. Akan tetapi potensi itu harus dikelola untuk kepentingan dan
kemakmuran rakyat. Sayangnya, sampai sekarang potensi sumberdaya perikanan kita
masih belum dikelola secara efektif. Layaknya raksasa yang masih tidur,
demikianlah potensi sumber daya perikanan kita.
Potensi
lain yang juga belum tergarap adalah pemanfaatan wilayah pesisir dan laut
sebagai penghasil daya energi, belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal
wilayah pesisir dan lautan merupakan salah satu sumber energi alternatif yang
sangat ramah lingkungan. Sumber energi yang dapat dimanfaatkan antara lain
berupa; arus pasang surut,, gelombang, perbedaan salinitas, angin, dan
pemanfaatan perbedaan suhu air laut di lapisan permukaan dan lapisan dalam
perairan atau yang kita kenal dengan OTEC (Ocean Thermal Energy Convertion).
B. Rumusan
masalah
1. Apa sajakah hasil sumber daya perikanan laut?
2. Bagaimanakah kondisi perikanan laut di
Indonesia?
3. Bagaimanakah pemanfaatan dan pengolahannya?
4. Bagaimanakah upaya pemeliharaan yang
dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah?
C. Sumber Daya Perikanan Laut
Berbagai
jenis sumber daya perikanan laut di Indonesia :
Ikan menurut UU adalah semua organisme yang
sebagian maupun seluruh siklus hidupnya
berada di air.
- ikan
Sumberdaya
ikan di perairan Indonesia
terdapat kurang lebih 7000 jenis ikan, diantaranya :
a. Jenis Ikan karang dan ikan dasar laut : Sunu,
kerapu, laccukang, najong, sinrili, tenggiri, losong-losong, dll. Eksploitasi
80.082 ton/tahun.
b. Jenis Ikan Permukaan laut : cakalang,
banjara, katombong, simbula, layang, katamba, mairo, tembang, cumi-cumi, dll.
Eksploitasi 3.163.630/tahun, sedang cumi-cumi (328.960 ton/pertahun)
- Kerang-kerangan
Meliputi Sub-jenis : batu laga,
lobo, lola, kima, kerang mutiara, kepala kambing, mabe.
- Udang
Meliputi Sub-jenis : Udang bambu,
udang mutiara, udang nangka.
- Penyu
Meliputi Sub-jenis : Penyu sisik,
penyu biasa, dll.
- Kepiting
- Teripang : teripang susu, teripang hitam, teripang batu, teripang cappi, dll.
- Jenis-jenis karang, mis : karang batu, karang bunga, karang tinggi, karang keriting, dll.
D. KONDISI PERIKANAN DI NEGARA KITA
Kondisi perikanan saat ini sangat
mengkhawatirkan dengan adanya pencurian ikan (ilegal fishing) di
perairan Indonesia
menjadi sangat marak. Kegiatan penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal
berbendera asing di perairan indonesia,
bukan terjadi beberapa tahun terakhir ini saja. Akan tetapi kegiatan ini sudah
berlangsung sejak puluhan tahun. Kapal berbendera asing tersebut menyamar
sebagai kapal nelayan indonesia,
ada juga yang menggunakan surat
ijin penangkapan palsu. Harus kita akui juga, bahwa kebijakan kelautan kita
yang masih longgar, sehingga memungkinkan kapal-kapal asing untuk masuk
menjarah hasil laut kita. Menurut Sudarmin (Fajar, 10/7) bahwa banyak
faktor yang teridentifikasi sebagai penyebab terjadinya illegal fishing di
perairan indonesia
yaitu: (1) Luasnya potensi laut yang belum terolah, (2) Peluang bisnis ikan
yang menggiurkan, (3) Kelemahan penegakan hukum, (4) Mentalitas aparat, dan (5)
Hambatan dari faktor perundang-undangan. Ekonom senior Kwik Kian Gie (Kompas,
26/3/2005) mengatakan bahwa kerugian negara akibat pencurian ikan serta
penambangan pasir secara ilegal selama ini yakni sebesar Rp 76,5 triliun. Angka
kerugian negara di sektor perikanan menempati urutan kedua setelah kerugian
dari sektor pajak yang mencapai angka sebesar Rp 215 triliun.
Maraknya
pencurian ikan secara ilegal (ilegal fishing) oleh kapal asing merupakan
fenomena yang kontras dan menyakitkan hati masyarakat kita. Betapa tidak
kekayaan laut kita dengan seenaknya dirampas oleh nelayan asing, sementara
nelayan kita tidak bisa menikmati hasil laut sendiri. Data Kompas (27/9)
menyebutkan bahwa Thailand
merupakan salah satu negara yang memiliki kapal penangkap ikan terbanyak yang
beroperasi secara ilegal sebanyak 500 unit. Sedangkan yang legal sebanyak 306
unit. Dari hasil penagkapan itu, Thailand mampu memproduksi hasil
tangkapan dengan total penangkapan sebesar 72.540 ton/tahun, meliputi 27.540
ton ditangkap secara legal, sisanya 45.000 ton merupakan hasil tangkapan secara
ilegal. Hasil tangkapan tersebut dibawa langsung ke Thailand. Ironisnya lagi selama
ini, indonesia
sebagai pengambil kebijakan sekaligus sebagai penghasil ikan justru tidak mampu
berbuat banyak. Bukan rahasia umum lagi, kalo model kerja sama seperti ini
cenderung menguntungkan pihak asing. Hal ini mengingatkan kita pada model kerja
sama dengan perusahan pertambangan asing (freeport,
INCO dan perusahaan sejenis dengan model pengelolaan Trans National
Corporate/TNC) dimana kita hanya mengandalkan atau berharap pada pajak
perijinan pengoperasian saja. Demikian juga dengan sektor perikanan kita, hanya
berharap pada pajak perijinan pengoperasian kapal sesuai dengan penggunaan alat
tangkap saja. Dalam setahun, untuk alat tangkap jenis pukat dikenakan biaya 167
dollar AS/Gross Ton (GT), alat tangkap jenis pursen 254 dollar AS/GT dan alat
tangkap gilnet sebesar 54 dollar AS/GT. Jika dilihat dari hasil transaksi
perdagangan produk perikanan dunia senilai 70 miliar dollar AS/tahun, indonesia
hanya mampu meraup 2,2 miliar dollar AS atau sekitar 2,8 persen. Sebaliknya Thailand
mampu meraup 4 miliar dollar AS dan Cina mendapatkan porsi 25 miliar dollar AS
(Kompas, 27/9). Oleh karenanya, sungguh sesuatu yang ironis jika
sekiranya kita masih mengangap sebagai negara bahari, sementara hasil-hasil
perikanan di bawa kabur oleh kapal asing (negara lain).
Laut
kita memiliki karakteristik yang sangat spesifik Dikatakan spesifik, karena
memiliki keaneragaman biota laut (ikan dan vegetasi laut) dan potensi lainnya
seperti kandungan bahan mineral. Dalam definisi undang-undang no 31 tahun 2004
tentang perikanan, dikatakan bahwa ikan adalah segala jenis organisme yang
seluruh atau sebahagian hidupnya berada dalam lingkungan perairan. Sumber
daya perikanan, merupakan hasil kekayaan laut yang memiliki potensi besar untuk
menambah devisa negara. Menurut Rohmin Dahuri, bahwa potensi pembangunan
pesisir dan lautan kita terbagi dalam tiga kelompok yaitu: (1) sumber daya
dapat pulih (renewable recorces), (2) sumber daya tak dapat pulih (non-renewable
recorces) dalam hal ini mineral dan bahan tambang, (3) jasa-jasa lingkungan
(Environmental service). Sayangnya ketiga potensi ini belum dimanfaatkan
secara optimal.
Sumberdaya
dapat pulih terdiri dari ikan dan vegetasi lainnya. Namun yang menjadi
primadona kita selama ini adalah pada sebatas ikan konsumsi seperti ikan
pelagis, ikan demersal, ikan karang, udang dan cumi-cumi. Sedangkan untuk
vegetasinya adalah terumbu
karang, padang
lamun, rumput laut, dan hutan mangrove. Sumber daya perikanan laut sebagai
sumber daya yang dapat pulih sering kita salah tafsirkan sebagai sumber daya
yang dapat eksploitasi secara terus menerus tanpa batas. Dalam data Ditjen
Perikanan, (1995), Potensi sumber daya perikanan laut di indonesia terdiri dari
sumber daya perikanan pelagis besar dengan potensi produksi sebesar 451.830
ton/tahun dan pelagis kecil sebesar 2.423.000 ton/tahun sedangkan sumberdaya
perikanan demersal memiliki potensi produksi sebesar 3.163.630 ton/tahun, udang
sebesar 100.728 ton/tahun, ikan karangdengan potensi produksi sebesar 80.082 ton/tahun
dan cumi-cumi sebesar 328.968 ton/tahun. Dengan demikian potensi lestari sumber
daya perikanan laut dengan tingkat pemanfaatan baru sekitar 48%.
Sementara
itu, potensi vegetasi biota laut juga sangat besar. Salah satunya adalah
terumbu karang. Dimana terumbu karang ini memilki fungsi yang sangat startegis
bagi kelangsungan hidup ekosistem laut yakni fungsi ekologis yaitu sebagai
penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik, tempat pemijahan, tempat
bermain dan asuhan berbagai biota. Terumbu karang juga menghasilkan produk yang
memiliki nilai ekonomis penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang
karang, alga, teripang dan kerang mutiara Data Ditjen Perikanan tahun 1991
menunjukan, potensi lestari sumber daya ikan pada terumbu karang di perairan
indonesia diperkirakan sebesar 80.802 ton/km2/tahun, dengan luas
total terumbu karang 50.000 km2. Vegetasi lainnya adalah rumput
laut. Rumput laut memiliki potensi lahan untuk budidaya sekitar 26.700 ha
dengan kemampuan potensi produksi sebesar 482.400 ton/tahun (Ditjen Perikanan,
1991).
Disamping
potensi sumber daya dapat pulih (renewable recources), wilayah pesisir
dan laut kita juga memiliki potensi sumber daya tak terbaharukan (non-renewable
recources). Potensi ini meliputi mineral dan bahan tambang diantaranya
berupa minyak, gas, batu bara, emas, timah, nikel, bauksit dan juga granit,
kapur dan pasir. Potensi lain yang tidak kalah pentingnya lagi adalah kawasan
pesisir dan laut kita sangat potensial untuk pengelolaan jasa lingkungan (environmental
service).yang dimaksud dengan jasa lingkungan adalah pemanfaatan kawasan
pesisir dan lautan sebagai sarana rekreasi dan pariwisata, media transportasi
dan komunikasi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, kawasan
perlindungan dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi ekologis lainnya.
Potensi
lain yang juga belum tergarap adalah pemanfaatan wilayah pesisir dan laut
sebagai penghasil daya energi, belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal
wilayah pesisir dan lautan merupakan salah satu sumber energi alternatif yang
sangat ramah lingkungan. Sumber energi yang dapat dimanfaatkan antara lain
berupa; arus pasang surut,, gelombang, perbedaan salinitas, angin, dan
pemanfaatan perbedaan suhu air laut di lapisan permukaan dan lapisan dalam perairan
atau yang kita kenal dengan OTEC (Ocean Thermal Energy Convertion).
Gambaran
potensi wilayah laut dan pesisir kita tersebut hanyalah sebahagian kecil yang
dimanfaat secara optimal. Tentunya masih banyak potensi lain yang dapat
dikembangkan guna kemakmuran rakyat. Namun sangat disayangkan potensi sumber
daya pesisir dan lautan belum bisa mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat
khususnya nelayan. Hal yang terjadi justru sebaliknya, ditengah kebanggaan kita
sebagai bangsa bahari, justru nelayan kitalah yang paling termarjinalkan. Suatu
fenomena yang kontras. Rohmin Dahuri pernah mengatakan, seandainya saja potensi
wilayah pesisir dan laut dikelola secara baik maka hasilnya akan mampu membayar
utang luar negeri kita yang sampai hari ini belum bisa terbayarkan. Namun apa
boleh buat, model pengelolaan wilayah pesisir dan laut selama ini sangat
berorientasi pada aspek eksploitasi. Hal ini terlihat jelas selama pemerintahan
orde baru. Kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut hanya sebatas untuk
pemenuhan pundi uang bagi negara. Sementara pengelolaan secara terpadu dan
berkelanjutan belum sepenuhnya dilakukan. Pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir dan lautan bisa jadi suatu saat nanti akan menjadi
penyedia primer bahan pangan. Tidak berlebihan kiranya, mengingat jumlah
penduduk yang meningkat tiap tahunnya serta semakin kurangnya lahan pertanian
akibat adanya aktivitas pembangunan perumahan dan jalan. Dengan demikian mau
tidak mau, suka tidak suka potensi sumberdaya wilayah pesisir dan lautan akan
menjadi kiblat ekonomi indonesia
masa depan. Jika potensi kekayaan ini dibiarkan merana tidak dikelola dengan
baik, maka indonesia
sebagai negara bahari bisa jadi hanya tinggal nama.
E. Fenomena ilegal
fishing Di negara bahari
Sudah
bukan rahasia umum lagi, kalau fenomena pencurian ikan (ilegal fishing)
di perairan Indonesia
menjadi sangat marak. Kegiatan penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal
berbendera asing di perairan indonesia,
bukan terjadi beberapa tahun terakhir ini saja. Akan tetapi kegiatan ini sudah
berlangsung sejak puluhan tahun. Kapal berbendera asing tersebut menyamar
sebagai kapal nelayan indonesia,
ada juga yang menggunakan surat
ijin penangkapan palsu. Harus kita akui juga, bahwa kebijakan kelautan kita
yang masih longgar, sehingga memungkinkan kapal-kapal asing untuk masuk
menjarah hasil laut kita. Menurut Sudarmin (Fajar, 10/7) bahwa banyak
faktor yang teridentifikasi sebagai penyebab terjadinya illegal fishing di
perairan indonesia
yaitu: (1) Luasnya potensi laut yang belum terolah, (2) Peluang bisnis ikan
yang menggiurkan, (3) Kelemahan penegakan hukum, (4) Mentalitas aparat, dan (5)
Hambatan dari faktor perundang-undangan. Ekonom senior Kwik Kian Gie (Kompas,
26/3/2005) mengatakan bahwa kerugian negara akibat pencurian ikan serta
penambangan pasir secara ilegal selama ini yakni sebesar Rp 76,5 triliun. Angka
kerugian negara di sektor perikanan menempati urutan kedua setelah kerugian
dari sektor pajak yang mencapai angka sebesar Rp 215 triliun.
Maraknya
pencurian ikan secara ilegal (ilegal fishing) oleh kapal asing merupakan
fenomena yang kontras dan menyakitkan hati masyarakat kita. Betapa tidak
kekayaan laut kita dengan seenaknya dirampas oleh nelayan asing, sementara
nelayan kita tidak bisa menikmati hasil laut sendiri. Data Kompas (27/9)
menyebutkan bahwa Thailand
merupakan salah satu negara yang memiliki kapal penangkap ikan terbanyak yang
beroperasi secara ilegal sebanyak 500 unit. Sedangkan yang legal sebanyak 306
unit. Dari hasil penagkapan itu, Thailand mampu memproduksi hasil
tangkapan dengan total penangkapan sebesar 72.540 ton/tahun, meliputi 27.540
ton ditangkap secara legal, sisanya 45.000 ton merupakan hasil tangkapan secara
ilegal. Hasil tangkapan tersebut dibawa langsung ke Thailand. Ironisnya lagi selama
ini, indonesia
sebagai pengambil kebijakan sekaligus sebagai penghasil ikan justru tidak mampu
berbuat banyak. Bukan rahasia umum lagi, kalo model kerja sama seperti ini
cenderung menguntungkan pihak asing. Hal ini mengingatkan kita pada model kerja
sama dengan perusahan pertambangan asing (freeport,
INCO dan perusahaan sejenis dengan model pengelolaan Trans National
Corporate/TNC) dimana kita hanya mengandalkan atau berharap pada pajak
perijinan pengoperasian saja. Demikian juga dengan sektor perikanan kita, hanya
berharap pada pajak perijinan pengoperasian kapal sesuai dengan penggunaan alat
tangkap saja. Dalam setahun, untuk alat tangkap jenis pukat dikenakan biaya 167
dollar AS/Gross Ton (GT), alat tangkap jenis pursen 254 dollar AS/GT dan alat
tangkap gilnet sebesar 54 dollar AS/GT. Jika dilihat dari hasil transaksi
perdagangan produk perikanan dunia senilai 70 miliar dollar AS/tahun, indonesia
hanya mampu meraup 2,2 miliar dollar AS atau sekitar 2,8 persen. Sebaliknya Thailand
mampu meraup 4 miliar dollar AS dan Cina mendapatkan porsi 25 miliar dollar AS
(Kompas, 27/9). Oleh karenanya, sungguh sesuatu yang ironis jika
sekiranya kita masih mengangap sebagai negara bahari, sementara hasil-hasil
perikanan di bawa kabur oleh kapal asing (negara lain).
F. Nelayan
kita yang merana
Seperti
kita ketahui, nasib buruh, petani dan nelayan kita sudah dapat dipastikan,
mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Kelompok yang paling menikmati adalah
mereka yang memiliki modal besar (pengusaha) dan dekat dengan kekuasaan.
Kemiskinan nelayan sepertinya menjadi benang kusut yang sulit diurai. Kebijakan
pemerintah yang pro nelayan mutlak dilakukan untuk mendorong tingkat
kesejahteraan nelayan kita. Beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan
antara lain : (1) rendahnya tingkat teknologi penangkapan ; (2) kecilnya
skala usaha ; (3) belum efisiennya sistem pemasaran hasil ikan dan (4)
status nelayan yang sebagian besar adalah buruh. Oleh karenanya pembangunan
infrastruktur nelayan bantuan alat penagkapan ikan serta membantu dalam pemasaran
hasil tangkap adalah mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
nelayan. Selain itu, harus ada payung hukum yang melindungi aktivitas
penangkapan nelayan lokal serta pengaturan atau pembatasan penangkapan bagi
kapal asing dan kapal-kapal besar serta harus ada undang-undang yang mengatur
batas wilayah kita dengan batas wilayah teritotial negara lain. Hal ini perlu,
guna menghindarkan konflik nelayan lokal dan nelayan asing. Kebijakan perikanan
yang pro nelayan adalah suatu keharusan, jika tidak maka nelayan kita akan
merana akibat ketidak becusan pemerintah dalam mengelola wilayah pesisir dan
laut kita. Semoga saja!.
G. UPAYA PENCEGAHAN
·
Illegal fishing
- Mempertegas peraturan-peraturan khususnya undang-undang yang mengatur tentang illegal fishing.
- Memperkuat dan meningkatkan pengawasan wilayah perairan.
- Menambah sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan pengawasan wilayah perairan.
·
Keadaan nelayan yang hidup dalam kemiskinan.
- Pemberian bantuan modal Kerja bagi para nelayan
- Memberikan penyuluha-penyuluhan yang dapat meningktkan kegiatan produksi mereka.
- Membangun sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan penangkapan maupun pasca panen.
No comments :
Post a Comment