Tim ekspedisi HMP MSP UNHAS siap berangkat ke Cangke
Selasa tanggal 12 Juli 2011 pukul 10.00 am saya bersama teman tim
ekspedisi HMP MSP KEMAPI FIKP UNHAS memulai perjalanan menuju lokasi tujuan
Pulau Cangke, kegiatan kali ini adalah salah satu di antara sekian banyaknya kegiatan
untuk memperingati hari ulang tahun HMP MSP KEMAPI FIKP UNHAS yang ke-13. Namun
diantara sekian banyaknya kegiatan, kegiatan inilah yang paling berkesan bukan
karena penulis yang hatinya lagi berseri-seri tapi melainkan karena kegiatan
ini dilaksanakan di tempat yang berbeda dari yang lain yaitu di pulau.
Mendengar nama pulau saja kami sudah sangat senang apa lagi bila sampai
menginjakkan kaki di pulau. Bukannya kami menyesal berada diantara sekian juta
mahluk yang hidup di hiruk pikuk kota metropolitan makassar, tapi setidaknya
kami bisa bebas sejenak dari apa yang tersisa dari keliaran, saat yang kita
lihat hanyalah hotel-hotel atau penginapan dari beton, besi dan plastik—atau
mungkin malah keliaran yang dibuat-buat seperti nuansa alami yang tetap dijaga.
Suasana di tengah perjalanan........
Perjalananku ke Pulau
Cangke kali ini lebih tambah menyenangkan karena aku berangkat dengan teman –
teman yang lebih banyak. Kami berangkat dengan 13 orang antara lain aku sendiri
sebagai ketua tim ekspedisi (Erul), Upi, Frengky, Yalfet, Ergi, Adit, Munir, Fajar,
Rudi, Sabil, Ical , Sainal dan Zulung.
Santai bareng di deck kapalnya Gapuuurrrr.........
Kami berangkat dari secretariat HMP MSP KEMAPI FIKP
UNHAS dengan menggunakan angkot ke Potere’. Setelah sampai ke potere’, kami
masuk ke pelabuhan dengan membayar karcis. Tak lama kemudian, datanglah Gapur
(nakhoda kapal) memberitahukan kami bahwa kapalnya bukan disini tapi di sebelah
sana. “Oh….tidaaaak, Gapuuuur…..Gapur, kenapa tidak bilang dari tadi, sudah
tonk meki bayar karcis masuk, jadi sia-sia dech”. Kami hanya mampu tersenyum
dengan apa yang terjadi, tetapi kami tetap bersemangat dan mengangkat kembali
barang ke tempat yang lain. Kemudian dari Potere’ kami menggunakan sebuah kapal
kayu bermotor yang kecil. Kira – kira hampir 4 jam kami menunggu di kapal kayu
tersebut untuk berangakat karena masih menunggu beberapa penumpang lagi. Dengan
bau di Potere’ yang sangat tidak sedap, kami tetap bersabar menunggu,
membuktikan bahwa kami ingin sekali menyukseskan ekspedisi yang pertama ini.
Yang mau skaliyyaaaa........
Mesin kapal telah dinyalakan dan kapal pun siap
untuk berangkat, tetapi beberapa dari kami harus berada di dalam kapal agar
kapal tidak terlalu goyang, termasuk aku, Upi, Munir, Adit, Yalfet, dan Fajar.
Suara mesin kapal yang sangat berisik membuat kami yang di dalam merasakan hal
yang kurang menyenangkan. Ditengah perjalanan ombak bertambah besar dan kapal
juga bertambah goyang, di dalam kapal ada seorang ibu yang ingin menuju pulau
Ballang Caddi’ karena ada pesta pernikahan disana. Ibu itu berkata: mauka ke
Ballang Caddi’ karena mauki menikah anaknya pa’bagang yang ada di pulau Ballang
Caddi’. Ibu itu pun terus menceritakan semua keluarganya dari anak hingga
cucunya, walaupun kami tidak bertanya sedikit pun, tapi ibu ini telah membuat
suasana di dalam kapal menjadi indah dan membuat kami semua bertambah semangat.
Singgah sejenak di pulau Karanrang.......
Setelah perjalanan yang lumayan jauh kapal pun
mampir di Pulau Karanrang untuk menurunkan beberapa penumpang . Akhrinya kami
yang di dalam kapal pindah ke atas kapal dan bergabung dengan teman – teman
yang lain.
Pulau Cangke terlihat samar – samar dari
kejauhan yang membuat kami bersemangat lagi. Makin lama keindahan Pulau Cangke
makin terlihat di tambah lagi dengan matahari terbenam dan membuat langit
menjadi berwarna orange yang sangat indah seakan turut menyambut kedatangan
kami. Dengan begitu sudah terbayarlah semua pengorbanan kami selama diperjalan
yang kurang menyenangkan. Mungkin baru kali ini aku melihat matahari terbenam
seindah ini tanpa tertutupi awan sedikit pun. Aku terus melihat matahari itu
sampai tidak terlihat lagi.
Tiba di Pulau Cangke....(beraksi ronk)
Akhirnya
kami semua sampai dengan selamat di Pulau Cangke, tapi sayang kita semua belum
dapat melihat keindahan Pulau Cangke yang sebenarnya karena hari mulai gelap.
Beberapa dari kami mendirikan tenda sedangkan yang lainnya menyiapkan makan
malam. Setelah makan malam kita semua menghabiskan malam di tepi pantai dan
ditemani jutaan bintang yang kedap – kedip. Sambil menghangatkan badan di dekat
api unngun buatan Ical dkk, kita semua bernyanyi dengan petikan gitarnya Frengky.
Di pulau
kecil ini dikelilingi lautan lepas. Pohon cemara tumbuh sempurna di atas pasir,
menari indah terhembus semilir angin. ikan-ikan karang bermain-main di antara
lautan luas. Bintang laut menerangi pesisir dengan diam. Sementara kami,
menemani bulan dengan lantunan lagu-lagu kebebasan. Kebetulan
malam itu air menjadi surut, sehingga ada beberapa anggota tim turun kelaut
untuk mencari ikan, kepiting, teripang dan kima. Setelah semua anggota
kelelahan, mereka pergi ke tenda untuk beristirahat, tetapi aku belum bisa
tidur, kemudian aku pergi ke pinggir pantai untuk mendengarkan lagu dari
handphone yang jaringannya hilang-hilang dan cash nya yang tinggal sedikit
kasiank. Tak lama kemudian Sabil menghampiri saya, lalu kami berdua terdiam
memandangi lautan. Beberapa saat kemudian, Sabil membacakan puisi lalu saya
yang memperagakan setiap syair yang dibacakannya, sesekali kami tertawa karena
beberapa puisi yang dibacakan tidak nyambung: hahahahhaha (suara itu yang
sering terdengar). Selama 2 jam, kami bercanda dipinggir pantai sebelum tiba
waktunya untuk beristirahat.
Pembentangan spanduk HMP MSP UNHAS.......
Pagi harinya beberapa dari kami bangun pagi untuk
melihat matahari terbit dan ternyata matahari belum juga terlihat karena
tertutup awan. Tak lama kemudian ada salah seorang dari penghuni pulau Cangke
menghampiri kami untuk menawarkan cumi-cumi kepada kami, kemudian kami
membelinya seharga Rp 30.000, agenda makanan pagi itu dari indomie+telur
berubah menjadi cumi-cumi. Cumi-cumi tadi digoreng dan menghasilkan suara “cesst
cesst cesst”. Setelah itu kami pun menghabiskan sarapan pagi. Perut kami pun
telah terisi, jadi kami langsung saja berendam ke laut. Pagi hari hingga siang
kami menghabiskan waktu di laut untuk berenang dan berjemur, karena katanya
matahari pagi itu baik untuk kesehatan.
Gayamu rong....
Hati-hati banyak anjing, terkhusus yang paling tiiiiiittttt......
Eksperisikan gaya loe.....
Matahari mulai tinggi tapi cuaca tidak panas karena
sepertinya mau hujan, padahal tidakji. Setelah puas berendam dan berenang di
laut, Aku, Munir, dan Adit pergi kerumah Daeng Abu. Ia menceritakan kisah
hidupnya kepada kami, Kisah mereka dimulai pada saat Dg Abu menderita penyakit
kusta pada tahun 1972. saat itu Sitti Maidah sudah menjadi pendamping hidupnya.
Mereka bertempat tinggal di Kecamatan Bungoro Kabupaten Pangkep Sulawesi
Selatan. Pada masa itu, Dg Abu masih berumur 20-an, ia masih sangat muda,
begitu pula Sitti Maidah. Pada saat kami datang kesana, sempat sesekali ia
menirukan bahasa nippon (jepang) kepada kami semua untuk menunjukkan jaman
kehidupannya pada saat ia masih berhubungan dengan masyarakat, tawa kami semua
meledak, meruap-ruap diatas pasir, mendengar bahasa nippon (Jepang) yang
ditirukan oleh Daeng Abu.
Masyarakat pada waktu itu menganggap
bahwa kusta adalah penyakit kutukan. Kusta diibaratkan sebagai sebuah azab dari
Tuhan terhadap kelalaian manusia. Bahkan lebih kejamnya lagi seseorang yang
menderita penyakit ini dianggap sebagai seorang pendosa kelas berat layaknya
pemerkosa atau perompak kejam di lautan. Walhasil, Dg Abu diasingkan ke sebuah
pulau tak berpenghuni. Yang konon, di pulau tersebutlah dahulu orang-orang yang
dianggap “kena kutukan” dibuang dan diasingkan masyarakat.
Silaturahmi dengan warga setempat.....
Cangke. Nama sebuah dataran yang
tidak terlalu luas. Mungkin hanya sebesar setengah lapangan sepak bola. Di
tengahnya dipenuhi pohon-pohon cemara yang cukup rindang, pasir mutiara yang
halus dan memutih sempurna melingkarinya bagai cincin. Setelahnya,
karang-karang ditemani bintang laut– biru, anemon, dan landak laut hitam
disiang hari, sementara dimalam hari ikan-ikan karang berhenti sejenak untuk
tidur dalam damai, terkulai lemas dalam arus terumbu karang yang tertutup air
pasang. Lebih dari itu, hanya biru yang makin keluar makin menghitam. Kelam. Dahulu
kala, setelah “hukuman” ditegakkan. Berangkatlah Dg Abu ke pulau tak bertuan
itu. Tetapi ia tak sendiri, Sitti Maidah ikut pula menemaninya.
Ditahun-tahun pertama, mereka
melalui masa-masa yang sangat sulit. Bayangkan saja, di pulau ini tidak ada air
tawar, tidak ada listrik, dan bahkan untuk menanam sayuran pun tidak bisa
karena tidak ada tanah, hanya pasir yang tertutup rerumputan liar. Saya tidak
bisa bayangkan, bagaimana kalau teman-teman yang suka online, nonton tv,
jalan-jalan ke mall tinggal di pulau ini yang jauh dari keramaian. Heemm…..pasti stress. Tapi bagaimana dengan
Daeng Abu kasiank, yang tinggal selama 39 tahun di Pulau ini. Coba
bayangkan!!!!!!
Lobsternya mirip sainal dan frengky......
Mereka bertahan dengan mencari ikan
dan menjualnya secara barter dengan keperluan rumah tangga, makanan dan air
bersih kepada nelayan-nelayan yang kadang singgah beristirahat setelah selesai
berlayar mencari cumi-cumi atau ikan. Atau saat datang seorang dokter dari
pulau sebelah yang mengobati penyakit Dg Abu. Tampaknya, sekarang ia pun sudah
sembuh total. Walau penyakit itu masih menyisakan bekas luka di jari-jarinya,
dan (Allahu a’lam) pula luka dalam kenangannya bersama keluarga yang ia
tinggalkan dahulu. Selama 39 tahun mereka tinggal di sebuah gubuk yang hanya muat
untuk mereka berdua. Baru beberapa tahun terakhir setelah anak mereka besar dan
mapan di pulau Palla (sebelah utara pulau cangke), merekapun dibuatkan semacam pemondokan
sederhana. Tetapi, tak lama setelah itu Dg Abu terserang kebutaan saat ia
menyelam di dasar laut. Kini tinggal Sitti Maidah dan anaknya, yang pula harus
menghidupi keluarganya dipulau Palla. Sang anak sampai sekarang, hampir setiap
sore dengan penghasilannya yang pas-pasan, menyisihkan sebagian penjualan ikan
untuk membelikan kebutuhan ayahanda dan ibunda tercinta di pulau Cangke ini.
Tapi itupun masih tergantung tangkapan.
Merasa ada yang kurang dari dirinya.
Setelah setiap hari selama 39 tahun mereka menjalankan hampir semua ritual
bersama. Sitti Maidah, sosok wanita tua dengan rambut mulai memutih, dan dari
matanya yang tajam menerjang-nerjang alam. membuat 2 rakit dengan tangannya.
Untuk sekedar mencari ikan ditengah lautan, agar Dg Abu bisa ikut mendayung
sementara ia duduk memancing kala malam. Tak terbayangkan pengabdian tulus yang
telah diberikan Daeng Abu (70 tahun) terhadap alam ini. Keterbatasan fisik
sebagai seorang penyandang tuna netra tak membuatnya surut untuk berbuat baik
bagi alam ini seperti yang telah diajarkan Islam untuk senantiasa menjaga
lingkungan.
Tanpa kenal lelah dan pamrih, Daeng
Abu menghijaukan kembali Pulau Cangke yang didiaminya sejak tahun 1970-an.
Daeng Abu mendiami pulau itu saat masih kosong bersama istrinya. Awalnya, pulau itu kering kerontang. Hatinya
terasa tak tega melihat kondisi alam yang rusak itu. Dia pun mulai menanaminya
dengan pohon cemara laut dan berbagai tumbuhan hijau lain. Hasilnya, kini
setelah 39 tahun, Pulau Cangke telah berubah menjadi satu pulau yang hijau, bak
hutan kecil di tengah laut. Hewan dan manusia pun sekarang banyak yang
memanfaatkan kerindangan pulau itu. Pulau itu kini menjadi tempat bertelur
secara alamiah bagi penyu-penyu dan rumah bagi ribuan spesies burung. Meskipun
tak mampu melihat, tiap hari Daeng Abu mengawasi semua tanaman di Pulau Cangke
dan suka mengingatkan para nelayan yang singgah untuk menjaga kebersihan pulau.
Dg. Abu dan Istrinya..
Dg. Abu berbagi kisah....
Atas perjuangannya yang tak kenal
lelah itu, Daeng Abu pun bakal menerima penghargaan dari Dompet Dhuafa.
Berdasarkan keterangan yang diterima Republika, penghargaan yang khusus
diberikan kepada insan-insan penuh dedikasi yang mengabdikan sebagian besar
hidupnya untuk orang lain, ini akan diberikan malam ini di Jakarta. Terima
kasih Daeng atas kerja kerasnya menjaga alam ini.
Kami pun di persilahkan untuk berfoto-foto dengan piagam penghargaan yang di
berikan kepada Daeng Abu. Setelah mendengarkan
cerita Daeng abu, kami kembali ke tenda untuk beristirahat dan bersantap siang
menggunakan indomie+telur+pemandanan yang indah. MANTAP.
Bersih pantai rong....
Hari mulai
sore kami pun melakukan bersih pantai dengan mencari botol dan sampah-sampah
plastic yang ada di sekitar pantai untuk dikumpulkan dan di bakar. Sewaktu
mengumpulkan sampah, kami dilihat oleh Daeng Abu, kemudian ia memberikan
beberapa kima yang dimilikinya kepada kami. Tapi yang membuatku takjub adalah ketika
ia memberikan kima sebagai hadiah bagi
kami, sementara mereka dapat menyimpan kima-kima tersebut untuk makan malam
atau untuk dijual.
Para Peneliti Penyu....
Setelah kami sudah merasa leleh, kami pun foto-foto
sambil menikmati matahari terbenam. Memang Pulau Cangke tempat yang indah, jauh
dari keramaian, dan semuanya masih alami. Inilah yang membuatku rindu akan
tempat ini dan tidak membuat bosan buatku.
Saat itu malam terakhir kami berada
disini. Sebuah ekspedisi yang mulanya hanya untuk memenuhi tuntutan proposal
ternyata membawa kami lebih jauh di dalamnya sebuah nilai-nilai kemanusian yang
sudah susah kami temui di kota.
Purnama makin terang. Menguning di
antara hitam. Terjaga di atas cahaya-cahaya yang membintang dari pulau Pala. Di
depan perapian, suara nyanyian kami menggema di antara malam. sibuk sendiri
pula angin mengaum-ngaum tunjukkan kebesaran lautan. kopi hitam pekat terangkat
bersama, aku beranjak berdiri mendekat keperapian dan membayangkan seseorang
yang jauh disana seraya berkata; “SELAMAT MALAM KESETIAAN………..”
Sunset broowwww.....
Di pagi harinya kami bersiap-siap untuk kembali ke
Makassar, tak lama kemudian Gapur pun datang menjemput kami, kami pun
berpamitan dengan Daeng Abu dan istrinya sambil berfoto bersama. Terima Kasih Daeng Abu atas kebaikannya
selama kami tinggal di pulau ini. Hanya mereka yang hidup selama 39 tahun dipulau ini. Kisah Dg
abu dan Sitti maidah. Sebuah pelajaran kehidupan yang berharga tentang sebuah
adaptasi manusia terhadap alam (lautan), terhadap nilai sebuah keluarga,
terhadap nilai-nilai dasar manusia. Antara kasih sayang, perhatian, kesetiaan,
tanggung jawab, bahkan cinta.
Tim ekspedisi HMP MSP pun naik ke perahu dan sesekali memalingkan
wajah melihat panorama pulau Cangke yang sangat indah, pasir putih mutiara akan
menjemput kita di bibir pantai dengan deburan ombak yang bergulung pelan
memecah di tepian. Air laut yang bening memberi pemandangan luar biasa,
ikan-ikan aneka warna saling berkejaran diantara karang dan rumput laut. Dari
kejauhan sesekali kawanan lumba-lumba berakrobat melawan riak gelombang. Angin
sepoi-sepoi mengelus lembut daun-daun cemara yang memenuhi daratan pulau
memberi kesejukan tersendiri meski matahari masih terik. Kita dapat menikmati
sunrise dan sunset di kedua sisinya. Semuanya begitu indah dan menakjubkan.
Di dalam kapal saya kembali berpikir dan merenung: Ada puluhan pulau
kecil di Makassar, banyak juga di antara pulau-pulau itu yang tak berpenghuni.
Mungkin ini semua hanya soal waktu hingga pemerintah menyadari potensi wisata
yang bisa diraup dari keberadaan pulau-pulau itu. Potensi wisata, sebuah
istilah lain untuk menyatakan eksploitasi alam liar, mengomodifikasi alam
bebas. Apa yang tersisa dari keliaran, saat yang kita lihat hanyalah
hotel-hotel atau penginapan dari beton, besi dan plastik—atau mungkin malah
keliaran yang dibuat-buat seperti nuansa alami yang tetap dijaga. Manusia tidak
lagi hidup dalam alam, manusia tidak lagi hidup bersanding bersama makhluk lain
dalam alam, bangsa penjarah hidup dari penghisapannya atas alam dan semua
makhluk hidup di dalamnya. Bangsa penjarah bahkan hidup dari saling hisap di
antara sesama mereka sendiri.
Perpisahan dengan keluarga Dg. Abu....
Di bawah kultur bangsa penjarah, dimana kita tinggal, pernahkah Anda
bertemu dengan seseorang yang merasa hidupnya berkecukupan dan memuaskan? Kita
selalu mengejar sesuatu, uang, produk, usia panjang, resep awet muda, jaminan,
asuransi, kenyamanan, status, gelar ilusi.
Saat kita mendapatkannya, kita selalu menginginkan lebih dan jauh lebih banyak lagi. Kita, bangsa penjarah, tak mengenal kata puas. Hidup kita, adalah hidup yang selalu berada di tengah kekurangan, sebanyak apapun material yang kita miliki. Kita selalu dahaga, tetapi kita selalu mencari cairan yang tak pernah dapat menghilangkan dahaga. Banyak orang menyebut situasi tersebut sebagai sifat dasar manusia—sesuatu yang kuanggap kebohongan, mitos masyarakat modern, yang dengan mudah asumsinya runtuh begitu kita mempelajari antropologi dan arkeologi atau sejarah hidup manusia. Tapi apabila kita berbicara mengenai masyarakat modern, ketidakpuasan itu memang demikian adanya. Sejauh mata memandang, kita selalu menemui hal tersebut. Sesuatu yang menjadi kewajaran dan karenanya menjadi kebenaran. Semua hal tersebut adalah kebenaran. Kebenaran yang runtuh begitu aku menjejakkan kaki di pulau Cangke setelah beberapa jam mengarungi lautan dengan sebuah kapal kecil...
Saat kita mendapatkannya, kita selalu menginginkan lebih dan jauh lebih banyak lagi. Kita, bangsa penjarah, tak mengenal kata puas. Hidup kita, adalah hidup yang selalu berada di tengah kekurangan, sebanyak apapun material yang kita miliki. Kita selalu dahaga, tetapi kita selalu mencari cairan yang tak pernah dapat menghilangkan dahaga. Banyak orang menyebut situasi tersebut sebagai sifat dasar manusia—sesuatu yang kuanggap kebohongan, mitos masyarakat modern, yang dengan mudah asumsinya runtuh begitu kita mempelajari antropologi dan arkeologi atau sejarah hidup manusia. Tapi apabila kita berbicara mengenai masyarakat modern, ketidakpuasan itu memang demikian adanya. Sejauh mata memandang, kita selalu menemui hal tersebut. Sesuatu yang menjadi kewajaran dan karenanya menjadi kebenaran. Semua hal tersebut adalah kebenaran. Kebenaran yang runtuh begitu aku menjejakkan kaki di pulau Cangke setelah beberapa jam mengarungi lautan dengan sebuah kapal kecil...
Kapal-kapal besar berlomba menangkap ikan sebanyak mungkin untuk
memenuhi dompet-dompet mereka dengan uang; nelayan-nelayan kecil yang
tersingkir oleh penjarahan kapal-kapal besar, mengadopsi nilai yang sama,
mereka menggunakan bom-bom ikan yang merusak dan membunuh semua makhluk yang
berada dalam jangkauan ledakan tanpa toleransi. Kita hanya mengenal satu
kebenaran: engkau harus menjadi penjarah untuk dapat terus hidup. Semua
berlomba tak lagi demi kebutuhan bertahan hidup, semua berkompetisi demi uang yang
tak pernah cukup mereka dapatkan. Maka di tengah kenyataan, dan kebenaran,
seperti demikian amatlah menyejukkan jawaban pasangan nelayan sederhana itu. Aku
tercenung. Daeng Abu mengingatkanku bahwa manusia hanyalah abu yang akan
kembali menjadi abu, karenanya pengejaran tanpa akhir materi hanyalah ilusi dan
karenanya sia-sia.
Kini, di sini, di ruang kerjaku yang berada di secret HMP MSP FIKP
UNHAS, aku menatap deretan buku di samping meja komputer, dan barang-barang
elektronik lainnya sangat jauh berbeda dengan apa yang ada di pulau Cangke.
Oleh karena itu, bermimpilah tentang apa yang ingin kamu impikan, pergilah ke
tempat tempat kamu ingin pergi, jadilah seperti yang kamu inginkan, karena kamu
hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan untuk melakukan hal-hal yang
ingin kamu lakukan.
"Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan; jangan pula lihat masa depan dengan ketakutan; tapi lihatlah sekitar anda dengan penuh kesadaran"

4 comments :
Mantap brow....
asyik...asyikkkk semnagat menulis lagi yuk..
saya adalah mahasiswa baru FAPERIKA UR, memabaca tulisan mas bro serasa mengalami peristiwa itu sendiri, nyata dan sangat menyentuh. saya tidak sabar ingin mengalaminya langsung, menghidari hiruk pikuk kota sejenak, dan mendalami tempat-tempat yang jarang dijamah dan jauh dari aktifitas maruk. mas bro, kalo ada kegiatan lain yang seru, postkan ya..
ok mas bro, ternyata banyak pngalaman yg kita dapat jika berbaur dengan lingkungan sekitar khususnya lingkungan yg agak menantang....mantap mas bro.. LANJUTKAN
Post a Comment