Wednesday, 21 December 2011

Ekspedisi HMP MSP UNHAS Ke Pulau Cangke


Tim ekspedisi HMP MSP UNHAS siap berangkat ke Cangke

Selasa tanggal 12 Juli 2011 pukul 10.00 am saya bersama teman tim ekspedisi HMP MSP KEMAPI FIKP UNHAS memulai perjalanan menuju lokasi tujuan Pulau Cangke, kegiatan kali ini adalah salah satu di antara sekian banyaknya kegiatan untuk memperingati hari ulang tahun HMP MSP KEMAPI FIKP UNHAS yang ke-13. Namun diantara sekian banyaknya kegiatan, kegiatan inilah yang paling berkesan bukan karena penulis yang hatinya lagi berseri-seri  tapi melainkan karena kegiatan ini dilaksanakan di tempat yang berbeda dari yang lain yaitu di pulau. Mendengar nama pulau saja kami sudah sangat senang apa lagi bila sampai menginjakkan kaki di pulau. Bukannya kami menyesal berada diantara sekian juta mahluk yang hidup di hiruk pikuk kota metropolitan makassar, tapi setidaknya kami bisa bebas sejenak dari apa yang tersisa dari keliaran, saat yang kita lihat hanyalah hotel-hotel atau penginapan dari beton, besi dan plastik—atau mungkin malah keliaran yang dibuat-buat seperti nuansa alami yang tetap dijaga.
Suasana di tengah perjalanan........

Perjalananku ke Pulau Cangke kali ini lebih tambah menyenangkan karena aku berangkat dengan teman – teman yang lebih banyak. Kami berangkat dengan 13 orang antara lain aku sendiri sebagai ketua tim ekspedisi (Erul), Upi, Frengky, Yalfet, Ergi, Adit, Munir, Fajar, Rudi, Sabil, Ical , Sainal dan Zulung.

Santai bareng di deck kapalnya Gapuuurrrr.........

Kami berangkat dari secretariat HMP MSP KEMAPI FIKP UNHAS dengan menggunakan angkot ke Potere’. Setelah sampai ke potere’, kami masuk ke pelabuhan dengan membayar karcis. Tak lama kemudian, datanglah Gapur (nakhoda kapal) memberitahukan kami bahwa kapalnya bukan disini tapi di sebelah sana. “Oh….tidaaaak, Gapuuuur…..Gapur, kenapa tidak bilang dari tadi, sudah tonk meki bayar karcis masuk, jadi sia-sia dech”. Kami hanya mampu tersenyum dengan apa yang terjadi, tetapi kami tetap bersemangat dan mengangkat kembali barang ke tempat yang lain. Kemudian dari Potere’ kami menggunakan sebuah kapal kayu bermotor yang kecil. Kira – kira hampir 4 jam kami menunggu di kapal kayu tersebut untuk berangakat karena masih menunggu beberapa penumpang lagi. Dengan bau di Potere’ yang sangat tidak sedap, kami tetap bersabar menunggu, membuktikan bahwa kami ingin sekali menyukseskan ekspedisi yang pertama ini.
Yang mau skaliyyaaaa........

Mesin kapal telah dinyalakan dan kapal pun siap untuk berangkat, tetapi beberapa dari kami harus berada di dalam kapal agar kapal tidak terlalu goyang, termasuk aku, Upi, Munir, Adit, Yalfet, dan Fajar. Suara mesin kapal yang sangat berisik membuat kami yang di dalam merasakan hal yang kurang menyenangkan. Ditengah perjalanan ombak bertambah besar dan kapal juga bertambah goyang, di dalam kapal ada seorang ibu yang ingin menuju pulau Ballang Caddi’ karena ada pesta pernikahan disana. Ibu itu berkata: mauka ke Ballang Caddi’ karena mauki menikah anaknya pa’bagang yang ada di pulau Ballang Caddi’. Ibu itu pun terus menceritakan semua keluarganya dari anak hingga cucunya, walaupun kami tidak bertanya sedikit pun, tapi ibu ini telah membuat suasana di dalam kapal menjadi indah dan membuat kami semua bertambah semangat.
Singgah sejenak di pulau Karanrang.......

Setelah perjalanan yang lumayan jauh kapal pun mampir di Pulau Karanrang untuk menurunkan beberapa penumpang . Akhrinya kami yang di dalam kapal pindah ke atas kapal dan bergabung dengan teman – teman yang lain.
 Pulau Cangke terlihat samar – samar dari kejauhan yang membuat kami bersemangat lagi. Makin lama keindahan Pulau Cangke makin terlihat di tambah lagi dengan matahari terbenam dan membuat langit menjadi berwarna orange yang sangat indah seakan turut menyambut kedatangan kami. Dengan begitu sudah terbayarlah semua pengorbanan kami selama diperjalan yang kurang menyenangkan. Mungkin baru kali ini aku melihat matahari terbenam seindah ini tanpa tertutupi awan sedikit pun. Aku terus melihat matahari itu sampai tidak terlihat lagi. 
Tiba di Pulau Cangke....(beraksi ronk)

Akhirnya kami semua sampai dengan selamat di Pulau Cangke, tapi sayang kita semua belum dapat melihat keindahan Pulau Cangke yang sebenarnya karena hari mulai gelap. Beberapa dari kami mendirikan tenda sedangkan yang lainnya menyiapkan makan malam. Setelah makan malam kita semua menghabiskan malam di tepi pantai dan ditemani jutaan bintang yang kedap – kedip. Sambil menghangatkan badan di dekat api unngun buatan Ical dkk, kita semua bernyanyi dengan petikan gitarnya Frengky. Di pulau kecil ini dikelilingi lautan lepas. Pohon cemara tumbuh sempurna di atas pasir, menari indah terhembus semilir angin. ikan-ikan karang bermain-main di antara lautan luas. Bintang laut menerangi pesisir dengan diam. Sementara kami, menemani bulan dengan lantunan lagu-lagu kebebasan. Kebetulan malam itu air menjadi surut, sehingga ada beberapa anggota tim turun kelaut untuk mencari ikan, kepiting, teripang dan kima. Setelah semua anggota kelelahan, mereka pergi ke tenda untuk beristirahat, tetapi aku belum bisa tidur, kemudian aku pergi ke pinggir pantai untuk mendengarkan lagu dari handphone yang jaringannya hilang-hilang dan cash nya yang tinggal sedikit kasiank. Tak lama kemudian Sabil menghampiri saya, lalu kami berdua terdiam memandangi lautan. Beberapa saat kemudian, Sabil membacakan puisi lalu saya yang memperagakan setiap syair yang dibacakannya, sesekali kami tertawa karena beberapa puisi yang dibacakan tidak nyambung: hahahahhaha (suara itu yang sering terdengar). Selama 2 jam, kami bercanda dipinggir pantai sebelum tiba waktunya untuk beristirahat.
Pembentangan spanduk HMP MSP UNHAS.......

Pagi harinya beberapa dari kami bangun pagi untuk melihat matahari terbit dan ternyata matahari belum juga terlihat karena tertutup awan. Tak lama kemudian ada salah seorang dari penghuni pulau Cangke menghampiri kami untuk menawarkan cumi-cumi kepada kami, kemudian kami membelinya seharga Rp 30.000, agenda makanan pagi itu dari indomie+telur berubah menjadi cumi-cumi. Cumi-cumi tadi digoreng dan menghasilkan suara “cesst cesst cesst”. Setelah itu kami pun menghabiskan sarapan pagi. Perut kami pun telah terisi, jadi kami langsung saja berendam ke laut. Pagi hari hingga siang kami menghabiskan waktu di laut untuk berenang dan berjemur, karena katanya matahari pagi itu baik untuk kesehatan.

Gayamu rong....

Hati-hati banyak anjing, terkhusus yang paling tiiiiiittttt......

Eksperisikan gaya loe.....

Matahari mulai tinggi tapi cuaca tidak panas karena sepertinya mau hujan, padahal tidakji. Setelah puas berendam dan berenang di laut, Aku, Munir, dan Adit pergi kerumah Daeng Abu. Ia menceritakan kisah hidupnya kepada kami, Kisah mereka dimulai pada saat Dg Abu menderita penyakit kusta pada tahun 1972. saat itu Sitti Maidah sudah menjadi pendamping hidupnya. Mereka bertempat tinggal di Kecamatan Bungoro Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan. Pada masa itu, Dg Abu masih berumur 20-an, ia masih sangat muda, begitu pula Sitti Maidah. Pada saat kami datang kesana, sempat sesekali ia menirukan bahasa nippon (jepang) kepada kami semua untuk menunjukkan jaman kehidupannya pada saat ia masih berhubungan dengan masyarakat, tawa kami semua meledak, meruap-ruap diatas pasir, mendengar bahasa nippon (Jepang) yang ditirukan oleh Daeng Abu.
Masyarakat pada waktu itu menganggap bahwa kusta adalah penyakit kutukan. Kusta diibaratkan sebagai sebuah azab dari Tuhan terhadap kelalaian manusia. Bahkan lebih kejamnya lagi seseorang yang menderita penyakit ini dianggap sebagai seorang pendosa kelas berat layaknya pemerkosa atau perompak kejam di lautan. Walhasil, Dg Abu diasingkan ke sebuah pulau tak berpenghuni. Yang konon, di pulau tersebutlah dahulu orang-orang yang dianggap “kena kutukan” dibuang dan diasingkan masyarakat.

Silaturahmi dengan warga setempat.....

Cangke. Nama sebuah dataran yang tidak terlalu luas. Mungkin hanya sebesar setengah lapangan sepak bola. Di tengahnya dipenuhi pohon-pohon cemara yang cukup rindang, pasir mutiara yang halus dan memutih sempurna melingkarinya bagai cincin. Setelahnya, karang-karang ditemani bintang laut– biru, anemon, dan landak laut hitam disiang hari, sementara dimalam hari ikan-ikan karang berhenti sejenak untuk tidur dalam damai, terkulai lemas dalam arus terumbu karang yang tertutup air pasang. Lebih dari itu, hanya biru yang makin keluar makin menghitam. Kelam. Dahulu kala, setelah “hukuman” ditegakkan. Berangkatlah Dg Abu ke pulau tak bertuan itu. Tetapi ia tak sendiri, Sitti Maidah ikut pula menemaninya.
Ditahun-tahun pertama, mereka melalui masa-masa yang sangat sulit. Bayangkan saja, di pulau ini tidak ada air tawar, tidak ada listrik, dan bahkan untuk menanam sayuran pun tidak bisa karena tidak ada tanah, hanya pasir yang tertutup rerumputan liar. Saya tidak bisa bayangkan, bagaimana kalau teman-teman yang suka online, nonton tv, jalan-jalan ke mall tinggal di pulau ini yang jauh dari keramaian.  Heemm…..pasti stress. Tapi bagaimana dengan Daeng Abu kasiank, yang tinggal selama 39 tahun di Pulau ini. Coba bayangkan!!!!!!
Lobsternya mirip sainal dan frengky......

Mereka bertahan dengan mencari ikan dan menjualnya secara barter dengan keperluan rumah tangga, makanan dan air bersih kepada nelayan-nelayan yang kadang singgah beristirahat setelah selesai berlayar mencari cumi-cumi atau ikan. Atau saat datang seorang dokter dari pulau sebelah yang mengobati penyakit Dg Abu. Tampaknya, sekarang ia pun sudah sembuh total. Walau penyakit itu masih menyisakan bekas luka di jari-jarinya, dan (Allahu a’lam) pula luka dalam kenangannya bersama keluarga yang ia tinggalkan dahulu. Selama 39 tahun mereka tinggal di sebuah gubuk yang hanya muat untuk mereka berdua. Baru beberapa tahun terakhir setelah anak mereka besar dan mapan di pulau Palla (sebelah utara pulau cangke), merekapun dibuatkan semacam pemondokan sederhana. Tetapi, tak lama setelah itu Dg Abu terserang kebutaan saat ia menyelam di dasar laut. Kini tinggal Sitti Maidah dan anaknya, yang pula harus menghidupi keluarganya dipulau Palla. Sang anak sampai sekarang, hampir setiap sore dengan penghasilannya yang pas-pasan, menyisihkan sebagian penjualan ikan untuk membelikan kebutuhan ayahanda dan ibunda tercinta di pulau Cangke ini. Tapi itupun masih tergantung tangkapan.
Merasa ada yang kurang dari dirinya. Setelah setiap hari selama 39 tahun mereka menjalankan hampir semua ritual bersama. Sitti Maidah, sosok wanita tua dengan rambut mulai memutih, dan dari matanya yang tajam menerjang-nerjang alam. membuat 2 rakit dengan tangannya. Untuk sekedar mencari ikan ditengah lautan, agar Dg Abu bisa ikut mendayung sementara ia duduk memancing kala malam. Tak terbayangkan pengabdian tulus yang telah diberikan Daeng Abu (70 tahun) terhadap alam ini. Keterbatasan fisik sebagai seorang penyandang tuna netra tak membuatnya surut untuk berbuat baik bagi alam ini seperti yang telah diajarkan Islam untuk senantiasa menjaga lingkungan.
Tanpa kenal lelah dan pamrih, Daeng Abu menghijaukan kembali Pulau Cangke yang didiaminya sejak tahun 1970-an. Daeng Abu mendiami pulau itu saat masih kosong bersama istrinya.   Awalnya, pulau itu kering kerontang. Hatinya terasa tak tega melihat kondisi alam yang rusak itu. Dia pun mulai menanaminya dengan pohon cemara laut dan berbagai tumbuhan hijau lain. Hasilnya, kini setelah 39 tahun, Pulau Cangke telah berubah menjadi satu pulau yang hijau, bak hutan kecil di tengah laut. Hewan dan manusia pun sekarang banyak yang memanfaatkan kerindangan pulau itu. Pulau itu kini menjadi tempat bertelur secara alamiah bagi penyu-penyu dan rumah bagi ribuan spesies burung. Meskipun tak mampu melihat, tiap hari Daeng Abu mengawasi semua tanaman di Pulau Cangke dan suka mengingatkan para nelayan yang singgah untuk menjaga kebersihan pulau.
Dg. Abu dan Istrinya..

Dg. Abu berbagi kisah....

Atas perjuangannya yang tak kenal lelah itu, Daeng Abu pun bakal menerima penghargaan dari Dompet Dhuafa. Berdasarkan keterangan yang diterima Republika, penghargaan yang khusus diberikan kepada insan-insan penuh dedikasi yang mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk orang lain, ini akan diberikan malam ini di Jakarta. Terima kasih Daeng atas kerja kerasnya menjaga alam ini. Kami pun di persilahkan untuk berfoto-foto dengan piagam penghargaan yang di berikan kepada Daeng Abu. Setelah mendengarkan cerita Daeng abu, kami kembali ke tenda untuk beristirahat dan bersantap siang menggunakan indomie+telur+pemandanan yang indah. MANTAP.

Bersih pantai rong....

 Hari mulai sore kami pun melakukan bersih pantai dengan mencari botol dan sampah-sampah plastic yang ada di sekitar pantai untuk dikumpulkan dan di bakar. Sewaktu mengumpulkan sampah, kami dilihat oleh Daeng Abu, kemudian ia memberikan beberapa kima yang dimilikinya kepada kami. Tapi yang membuatku takjub adalah ketika ia  memberikan kima sebagai hadiah bagi kami, sementara mereka dapat menyimpan kima-kima tersebut untuk makan malam atau untuk dijual.

Para Peneliti Penyu....

Setelah kami sudah merasa leleh, kami pun foto-foto sambil menikmati matahari terbenam. Memang Pulau Cangke tempat yang indah, jauh dari keramaian, dan semuanya masih alami. Inilah yang membuatku rindu akan tempat ini dan tidak membuat bosan buatku.
Saat itu malam terakhir kami berada disini. Sebuah ekspedisi yang mulanya hanya untuk memenuhi tuntutan proposal ternyata membawa kami lebih jauh di dalamnya sebuah nilai-nilai kemanusian yang sudah susah kami temui di kota.
Purnama makin terang. Menguning di antara hitam. Terjaga di atas cahaya-cahaya yang membintang dari pulau Pala. Di depan perapian, suara nyanyian kami menggema di antara malam. sibuk sendiri pula angin mengaum-ngaum tunjukkan kebesaran lautan. kopi hitam pekat terangkat bersama, aku beranjak berdiri mendekat keperapian dan membayangkan seseorang yang jauh disana seraya berkata; “SELAMAT MALAM KESETIAAN………..
Sunset broowwww.....

Di pagi harinya kami bersiap-siap untuk kembali ke Makassar, tak lama kemudian Gapur pun datang menjemput kami, kami pun berpamitan dengan Daeng Abu dan istrinya sambil berfoto bersama.  Terima Kasih Daeng Abu atas kebaikannya selama kami tinggal di pulau ini. Hanya mereka yang hidup selama 39 tahun dipulau ini. Kisah Dg abu dan Sitti maidah. Sebuah pelajaran kehidupan yang berharga tentang sebuah adaptasi manusia terhadap alam (lautan), terhadap nilai sebuah keluarga, terhadap nilai-nilai dasar manusia. Antara kasih sayang, perhatian, kesetiaan, tanggung jawab, bahkan cinta.

Tim ekspedisi HMP MSP pun naik ke perahu dan sesekali memalingkan wajah melihat panorama pulau Cangke yang sangat indah, pasir putih mutiara akan menjemput kita di bibir pantai dengan deburan ombak yang bergulung pelan memecah di tepian. Air laut yang bening memberi pemandangan luar biasa, ikan-ikan aneka warna saling berkejaran diantara karang dan rumput laut. Dari kejauhan sesekali kawanan lumba-lumba berakrobat melawan riak gelombang. Angin sepoi-sepoi mengelus lembut daun-daun cemara yang memenuhi daratan pulau memberi kesejukan tersendiri meski matahari masih terik. Kita dapat menikmati sunrise dan sunset di kedua sisinya. Semuanya begitu indah dan menakjubkan.
Di dalam kapal saya kembali berpikir dan merenung: Ada puluhan pulau kecil di Makassar, banyak juga di antara pulau-pulau itu yang tak berpenghuni. Mungkin ini semua hanya soal waktu hingga pemerintah menyadari potensi wisata yang bisa diraup dari keberadaan pulau-pulau itu. Potensi wisata, sebuah istilah lain untuk menyatakan eksploitasi alam liar, mengomodifikasi alam bebas. Apa yang tersisa dari keliaran, saat yang kita lihat hanyalah hotel-hotel atau penginapan dari beton, besi dan plastik—atau mungkin malah keliaran yang dibuat-buat seperti nuansa alami yang tetap dijaga. Manusia tidak lagi hidup dalam alam, manusia tidak lagi hidup bersanding bersama makhluk lain dalam alam, bangsa penjarah hidup dari penghisapannya atas alam dan semua makhluk hidup di dalamnya. Bangsa penjarah bahkan hidup dari saling hisap di antara sesama mereka sendiri.
Perpisahan dengan keluarga Dg. Abu....

Di bawah kultur bangsa penjarah, dimana kita tinggal, pernahkah Anda bertemu dengan seseorang yang merasa hidupnya berkecukupan dan memuaskan? Kita selalu mengejar sesuatu, uang, produk, usia panjang, resep awet muda, jaminan, asuransi, kenyamanan, status, gelar ilusi.
Saat kita mendapatkannya, kita selalu menginginkan lebih dan jauh lebih banyak lagi. Kita, bangsa penjarah, tak mengenal kata puas. Hidup kita, adalah hidup yang selalu berada di tengah kekurangan, sebanyak apapun material yang kita miliki. Kita selalu dahaga, tetapi kita selalu mencari cairan yang tak pernah dapat menghilangkan dahaga. Banyak orang menyebut situasi tersebut sebagai sifat dasar manusia—sesuatu yang kuanggap kebohongan, mitos masyarakat modern, yang dengan mudah asumsinya runtuh begitu kita mempelajari antropologi dan arkeologi atau sejarah hidup manusia.  Tapi apabila kita berbicara mengenai masyarakat modern, ketidakpuasan itu memang demikian adanya. Sejauh mata memandang, kita selalu menemui hal tersebut. Sesuatu yang menjadi kewajaran dan karenanya menjadi kebenaran. Semua hal tersebut adalah kebenaran. Kebenaran yang runtuh begitu aku menjejakkan kaki di pulau Cangke setelah beberapa jam mengarungi lautan dengan sebuah kapal kecil...
Kapal-kapal besar berlomba menangkap ikan sebanyak mungkin untuk memenuhi dompet-dompet mereka dengan uang; nelayan-nelayan kecil yang tersingkir oleh penjarahan kapal-kapal besar, mengadopsi nilai yang sama, mereka menggunakan bom-bom ikan yang merusak dan membunuh semua makhluk yang berada dalam jangkauan ledakan tanpa toleransi. Kita hanya mengenal satu kebenaran: engkau harus menjadi penjarah untuk dapat terus hidup. Semua berlomba tak lagi demi kebutuhan bertahan hidup, semua berkompetisi demi uang yang tak pernah cukup mereka dapatkan. Maka di tengah kenyataan, dan kebenaran, seperti demikian amatlah menyejukkan jawaban pasangan nelayan sederhana itu. Aku tercenung. Daeng Abu mengingatkanku bahwa manusia hanyalah abu yang akan kembali menjadi abu, karenanya pengejaran tanpa akhir materi hanyalah ilusi dan karenanya sia-sia.
Kini, di sini, di ruang kerjaku yang berada di secret HMP MSP FIKP UNHAS, aku menatap deretan buku di samping meja komputer, dan barang-barang elektronik lainnya sangat jauh berbeda dengan apa yang ada di pulau Cangke. Oleh karena itu, bermimpilah tentang apa yang ingin kamu impikan, pergilah ke tempat tempat kamu ingin pergi, jadilah seperti yang kamu inginkan, karena kamu hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan untuk melakukan hal-hal yang ingin kamu lakukan.


"Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan; jangan pula lihat masa depan dengan ketakutan; tapi lihatlah sekitar anda dengan penuh kesadaran"


 “Good Luck”


4 comments :

La Nane, S.Pi., M.Agr.Sc. said...

Mantap brow....

La Nane, S.Pi., M.Agr.Sc. said...

asyik...asyikkkk semnagat menulis lagi yuk..

Anonymous said...

saya adalah mahasiswa baru FAPERIKA UR, memabaca tulisan mas bro serasa mengalami peristiwa itu sendiri, nyata dan sangat menyentuh. saya tidak sabar ingin mengalaminya langsung, menghidari hiruk pikuk kota sejenak, dan mendalami tempat-tempat yang jarang dijamah dan jauh dari aktifitas maruk. mas bro, kalo ada kegiatan lain yang seru, postkan ya..

Unknown said...

ok mas bro, ternyata banyak pngalaman yg kita dapat jika berbaur dengan lingkungan sekitar khususnya lingkungan yg agak menantang....mantap mas bro.. LANJUTKAN