PEMBAHASAN
Pengamatan tentang pengujian kesegaran ikan layang (Decapterus ruselli).
1. Pengamatan secara organoleptik
Ø Mata
Berdasarkan pengamatan secara organoleptik atau secara visual terhadap mata ikan layang (Decapterus sp) 1 dan 2 diperoleh nilai kisaran rata-rata 5,52-8,48. Pada ikan 1 ikan mulai kurang segar dengan ciri-ciri bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan dengan korne yang keabu-abuan pula hal ini sesuai dengan pendapat Adawiyah (2007) yang menyatakan bahwa ikan yang mulai tidak segar memiliki tanda pada matanya yang agak cekung, pupil yang berwarna hitam pucat (keabu-abuan) dengan kornea yang tidak berwarna putih bersih. Walau demikian ikan ini masih layak dikonsumsi.
Sedangkan Pada ikan 2 menunjukkan kesegaran ikan yang tinggi, menurut Adawiyah(2007) yang menyatakan ikan yang segar memiliki ciori-ciri bola mata yang cerah, pupil mata yang berwarna hiotam pekat dan korne mata yang berwarna putih dan tidak keabu-abuan. Parameter keadaan mata sangat mudah dilakukan atau diamati. Perubahan kesegaran ikan akan menyebabkan perubahan pada matanya. Menurut Afrianto (1989) ciri-ciri ikan yang masih segar mempunyai mata yang jernih, menonjol, dan cembung sedangkan pada ikan yang sudah mengalami kemunduran mutu nya cenderung memiliki ciri-ciri mata yang tampak suram, tenggelam, dan berkerut.
Ø Insang
Berdasarkan pengamatan pada insang ikan layang (Decapterus sp) 1 dan 2 diperoleh nilai kisaran rata-rata 7,42-8,58. Yang menunjukkan keadaan insang yang berwarna merah kurang cemerlang dan tanpa lendir hal ini sesuai dengan pendapat Afrianto(1989) yang menyatakan insang ikan yang segar memiliki insang berwarna merah cerah dan tanpa lendir, dan hal ini menjadi indikator bahwa ikan ini layak untuk dikonsumsi. Menurut Adawiyah (2007) insang ikan merupakan pusat daerah pengambilan di dalam air. Ikan yang mati mengakibatkan peredaran darah terhenti. Bahkan sebaliknya yang dapat teroksidasi sehingga warnanya berubah menjadi warna gelap.
Ø Daging dan perut
Berdasarkan pengamatan daging dan perut terhadap ikan layang (decapterus ruselli) diperoleh nilai kisaran rata-rata 5,8-7,8 yang menunjukkan bahwa sayatan daging yang cemerlang. Hal ini sesuai dengan pendapat Afrianto(1989) yang menyatakan daging ikan warna daging yang cemerlang dan kelihatan asli, sedikit ada kemerahan pada tulang belakang serta perut yang agak lembek dan sedikit memiliki bau susu. Ikan yang memiliki ciri-ciri seperti ini masih layak untuk dikonsumsi. Sedangkan pada ikan 2 memiliki kisaran rata-rata 6,2-7,4 hal ini menunjukkan sayatan daging cemerlang, dan memiliki bau netral hal ini sesuai dengan pendapat Adawiyah (2007) yang menyatakan ikan yang segar memiliki ciri-ciri perut yang utuh, ginjal yang merah terang, dinding perut dagingnya masih utuh dan memiliki bau yang netral.
Ø Konsistensi
Berdasarkan pengamatan konsistensi diperoleh nilai kisaran rata-rata untuk 1 adalah 5,8-7,8 yang menunjukkan ikan mengalami kemunduran mutu atau mulai tidak segar lagi dilihat pada tanda-tanda seperti agak lunak, bila ditekan dengan jari sulit menyobek daging dari tulang belakang sesuai dengan www.google.com ( penurunan mutu ikan dengan ciri-cirinya) yang menyatakan ikan dengan nilai bantu pengujian kesegaran ikan bahwa ikan yang memiliki nilai antara 5,8-7,8 adalah ikan yang masih layak untuk dikonsumsi walau memiliki daging yang sedkit lunak. Sedangkan pada ikan yang ke-2 diperoleh nilai kisaran rata-rata 6,5-8,3 yang menunjukkan ikan masih sangat layak untuk dikonsumsi dengan daging yang padat, elastis, dan sulit menyobek daging. Hal ini sesuai dengan pendapat Afrianto (1989) yang menyatakan ikan yang masih segar memiliki tanda-tanda daging yang masih padat dan elastis bila ditekan atau dengan kata lain akan kembali seperti semula bila ditekan.
2. Pembahasan kesegaran ikan layang (Decapterus sp) secara kimiawi
Pada pengamatan pengujian kesegaran ikan layang (Decapterus sp) secara kimiawi diperoleh pada tabung 1 dengan pH 6,81 hal ini menunjukkan ikan masih dalam keadaan segar sesuai dengan pendapat Afrianto (1989) yang menyatakan ikan yang mati mengalami proses perombakan kimiawi oleh mikroba. Sedangkan pada ikan yang ke-2 (tabung 2) diperoleh pH 6,16 yang menunjukkan ikan dalam keadaan tidak segar. Sesuai dengan pendapat Hadiwiyoto (1993) yang menyatakan pada umumnya ikan yang mengalami penurunan mutu atau tidak segar lagi biasanya memiliki pH yang kurang dari pH ikan yang masih segar, hal ini disebabkan karena timbulnya senyawa-senyawa yang bersifat ammonia, trimetilami, jika dilihat dari urutan proses yang terjadi maka dapat diketahui bahwa ikan yang digunakan dalam pengamatan ini telah mengalami proses rigormortis.
3. Pembahasan kesegaran ikan secara mikrobiologi
Berdasarkan hasil pengam,atan ikan layang (Decapterus sp) 1 dan 2 secara mikrobiologi diperoleh jumlah bakteri secara praduga dengan melihat daya reduksi ikan /daging ikan terhadap suatu senyawa kimia (metal biru). Pada ikan 1 agar warna biru hilang pada daging ikan dibutuhkan waktu 11 jam 30 menit, waktu yang diperlukan lewat dari 5,2 jam dikarenakan terjadi kesalahan dalam praktikum berlangsung sehingga perubahan warna biru agar bisa hilang terjadi sangat lama. Salah satu contoh bakteri yang diteliti secara praduga secara mikrobiologi adalah salmonella, dan E. Colli hal ini sesuai dengan pendapat Irianto (2006) yang menyatakan salah satu kandungan bakteri pada daging ikan adalah Salmonella dan E. Colli. Sedangkan pada ikan ke-2 waktu yang dibutuhkan agar warna biru dapat hilang adalah 9 jam 30 menit. Sama halnya dengan ikan pertama, pada ikan ke-2 ini terjadi kesalahan dalam pelarutan antara daging ikan dan metil biru. Sehingga waktu yang dibutuhkan lama agar warna metil biru hilang terhadap cincangan daging ikan. Salah satu bakteri yang diperkirakan terhadap percobaan ini adalah Salmonella dan E. Colli sesuai dengan Irianto (2006) yang menyatakan contoh bakteri yang terkandung dalam tubuh ikan adalah Salmonella dan E. Colli.
KESIMPULAN
Dari pengamatan tentang pengujian kesegaran ikan layang (Decapterus sp) secara organoleptik (mata, insang, daging dan perut, serta konsistensi), kimiawi dan mikrobiologi. Maka dapat disimpulkan pada organoleptik ikan 1 dan 2 terhadap visual mata, insang, daging & perut serta konsistensi. Ikan masih dalam keadaan segar walau masih terlihat terjadinya penurunan mutu ikan. Walau demikian ikan masih layak untuk dikonsumsi.
pada percobaan pengujian kesegaran ikan layang (Decapterus Sp) dengan cara kimiawi pada ikan 1 dan ikan 2, ikan masih dalam keadaan segar dan pada ikan 2 mulai tidak segar lagi karena memiliki pH dibawah 6,8. Karena ikan yang segar memiliki pH 6,8-7,00.
Pengujian kesegaran ikan secara mikrobiologi pada ikan 1 dan ikan 2 dengan penggunaan praduga jumlah bakteri. Ikan 1 dan ikan 2 tidak terdapat bakteri hal ini dapat dilihat dari jumlah waktu yang dibutuhkan sangat lama yaitu pada ikan 1 waktu yang dihabiskan 11 jam 30 menit sedangkan pada ikan 2 waktu yang dibutuhkan 9 jam 30 menit. Pada percobaan pengujian kesegaran ikan secara mikrobiologi terjadi kesalahan dalam pemberian metilen blue sehingga perubahan warna biru terhadap percampuran daging ikan dan metil blue sangat lama.
DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah, Rabiatul. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Haka grafis. Jakarta
Afrianto, E. Dan Liviawaty, E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Irianto, K. 2006. Mikrobiologi. Yramawidya. Bandung.
PEMBAHASAN
Pengamatan pengujian organoleptik sebelum pendinginan ikan ekor kuning
(Caesio Sp) dengan metode berlapis.
1. Mata
Berdasarkan hasil pengamatan dengan pengujian secara organoleptik terhadap (mata, insang dan konsistensi) sebelum pendinginan dengan metode berlapis diperoleh nilai kisaran rata-rata antara 7,02-7,74 yang menunjukkan mata ikan berwarna cerah dan bening sesuai dengan pendapat Hadiwiyoto (1993) yang menyatakan bahwa mata ikan masih kelihatan cerah dengan pupil berwarna hitam pekat dan bagian luar pupil berwarna putih. Oleh karena itu ikan msih layak untuk dikonsumsi.
2. Insang
Berdasarkan hasil pengamatan insang ikan ekor kuning diperoleh nilai kisaran rata-rata sebesar 4,30-7,17 yang menunjukkan insang berwarna merah yang agak kusam dan tanpa lendir hal ini sesuai dengan pendapat Adawiyah (2007) yang menyatakan ikan yang memiliki ciri insang, insang yang berwarna merah pucat dan hal ini ikan telah mengalami kemunduran mutu, walau demikian ikan masih layak untuk dikonsumsi.
3. Konsistensi.
Berdasarkan hasil pengamatan konsistensi ikan ekor kuning (Caesio Sp), diperoleh nilai kisaran rata-rata 7,43-8,07 yang menunjukkan daging ikan masih elastis, peruk agak lembek, dan memiliki bau yang netral. Hal ini sesuai dengan pendapat Afrianto (1989) yang menyatakan ikan yang telah mati, maka akan terjadi perubahan fisik pada ikan tersebut, yang ditandai pada daging ikan yang lembek dan mulai tidak elastis.
Pengamatan pengujian organoleptik sebelum pendinginan pada ikan ekor kuning dengan menggunakan metode bertumpuk :
1. Mata
Pengamatan secara organoleptik pada mata ikan Ekor kuning (Caesio Sp) diperoleh nilai kisaran rata-rata 6,98-8,15 yang menunjukkan mata ikan msih berwarna hitam pekat dan bagian korne yang tidak pucat hal ini sesuai dengan pendapat Hadiwiyoto (1989) yang menyatakan ikan yang masih segar memiliki ciri-ciri mata dengan pupil mata yang berwarna hitam pekat.
2. Insang
Pengamatan secara organoleptik pada insang ikan ekor kuning (Caesio Sp) maka, diperoleh nilai kisaran rata-rata 4,10-7,31 yang menunjukkan insang ikan berlendir dan berwarna merah pucat hal ini sesuai dengan pendapat Adawiyah (2007) yang menyatakan ikan yang sudah mengalami kemunduran mutu memiliki insang yang berwarna pucat dan memiliki lendir pada insangnya.
3. Konsistensi
Pada pengamatan konsistensi sebelum pendinginan pada ikan ekor kuning (Caesio Sp) dengan menggunakan metode bertumpuk, dilihat bahwa daging ikan masih elastis dan apabila akan kembali seperti semula, hal ini sesuai dengan pendapat Adawiyah (2007) yang menyatakan ikan yang segar memiliki daging yang elastis apabila ditekan akan kembali seperti semula.
PEMBAHASAN
Berdasarkan pengamatan proses pendinginan ikan ekor kuning (Caesio Sp) didapat hasil sebagai berikut :
1. Metode Pendinginan Secara Berlapis
Pendinginan ikan bertujuan untuk memperlambat laju proses pembusukan pada ikan. Pendinginan ikan dilakukan dengan menindahkan panas dari dalam tubuh ikan ke bahan lain hal ini panas dari tubuh ikan dipindahkan ke es batu.
Pada proses pendinginan ikan secara berlapis kurang lebih dalam jangka waktu 30 menit diperoleh hasil bahwa panas yang dipindahkan ke es batu oleh masing-masing ikan adalah Q1=3.23 k.kal, Q2=2,99 k.kal, Q3=3.965 k.kal, Q4=2.65 K.kal, Q5=3.175 k.kal, Q6=3.192, k.kalQ7=2.52 k.kal, dan Q8=2.96 k.kal.
Dengan demikin tujuan pendinginan adalah mempertahankan mutu ikan melalui daya simpan yang lama, sesuai dengan Afrianto (1989) yang menyatakan pendinginan dilakukan agar daya simpan ikan dapat diperpenjang tanpa mengurangi mutu ikan tersebut.
Kelebihan dari pengawetan ikan melalui proses pendinginan adalah sifat-sifat asli tidak akan mengalami banyak perubahan. Efisiensi dengan teknik pendinginan berlapis adalah ikan tidak akan mengalami luka atau sayatan akibat bertindih atau bergesekan dengan es, hal ini sesuai dengan pendapat (1989) yang menyatakan pengawetan dengan menggunakan Cold Box (kotak es) pada metode berlapis da[at dilakukan dengan mudah dan cepat serta kerusakan ikan dapat diminimalisir sekecil mungkin.
2. Metode Pendinginan Secara Bertumpuk
Berdasarkan data yang diperoleh dari pendinginan ikan dengan menggunakan metode bertumpuk diperoleh nilai kisaran rata-rata bahwa panas yang dilepaskan dari rubuh ikan ke es batu adalah Q1=2.95 k.kal, Q2=3.53 k.kal, Q3=2.39 k.kal, Q4=2.95 k.kal, Q5=3.28 k.kal, Q6=4.2 k.kal, Q7=3.024 k.kal. proses pendinginan ikan dengan menggunakan metode bertumpuk menyebabkan ikan memiliki sedikit sayatan-sayatan kecil ditubuh ikan tersebut, akibat dari adanya gesekan ikan yang satu dengan ikan yang lain di dalam satu Cold Box yang berisi es batu hal ini sesuai dengan pendapat Hadiwiyoto (1993) yang menyatakan penggunaan metode bertumpuk dalam upaya mempertahankan mutu ikan menyebkan ikan-ikan bersentuhan dan tyerjadinya gesekan antara ikan yang satu dengan ikan yang lain sehingga adanya sayatan-sayatan kecil pada tubuh ikan tersebut.
3. Metode Pendinginan Secara Campuran
metode dengan menggunakan pengawetan campuran menggunakan ikan-ikan kecil atau udang. Dalam percobaan ini menggunakan udang windu. Metode campuran dalam upaya mempertahankan mutu ikan sangat efisien dilakukan terhadap ikan-ikan yang berukuran kecil atau jenis udang-udangan. Dikarenakan ikan-ikan tersebut tidak mempunyai tekanan yang kuat dalam hal ini tidak menyebabkan gesekan yang bisa menyebabkan terlukanya salah satu bagian tubuh ikan atau udang yang diawetkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadiwiyoto (1993) yang menyatakan metode campuran lebih cocok digunakan pada ikan-ikan dengan yang berukuran kecil (Smallfish) atau jenis udang-udangan karena tidak akan menimbulkan tekanan yang berarti yang dapat menyebabkan sayatan-sayatan pada tubuh ikan tersebut.
Pada dasarnya prinsip kerja pada pendinginan bercampur adalah ikan dicampur dengan es batu dalam satu Cold Box yang dibawahnya telah dilapisi es terlebih dahulu kemudian dibagian atasnya terdapat campuran ikan-ikan kecil maupun jenis udang-udangan yang telah dicampur dengan es batu.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan ikan melalui berbagai metode pendinginan yang dilakuakan dalam upaya mempertahankan mutu ikan baik metode berlapis, metode bertumpuk dan metode campuran. Dapat dilihat bahwa dari ke tiga metode tersebut bahwa metode yang paling baik dan efisien untuk digunakan adalah metode berlapis, dikarenakan metode ini lebih cepat dingin dan tekstur tubuh ikan tidak rusak dan terluka pada saat proses pembongkaran ikan dari Cold box, sehingga menimalisir kerusakan pada ikan baik dari sayatan maupun kegepengan pada ikan.
DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah, R. 2007. Pengolahan Dan Pengawetan Ikan. Haka Grafis. Jakarta.
Afrianto, E. Dan Liviawaty, E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Jakarta
Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Liberty. Jakarta.
PEMBAHASAN
1. Penggaraman Kering (Dry Salting)
a. Ikan 1
Ø Kenampakan
Berdasarkan hasil pengamatan pada penggaraman ikan dengan menggunakan metode kering pada ikan bandeng (Chanos cahanos) diperoleh nilai kisaran rata-rata antara 7.51-8.33. ini terlihat kenampakan pada ikan kering tersebut menjadi lebih menarik. Garam yang mengandung elemen Fe dan Cu dapat mengakibatkan ikan asain berubah menjadi coklat atau kering. Hal ini sesuai dengan pendapat Afrianto (1989) yang menyatakan garam murni yang digunakan dalam penggaraman ikan membuat daging ikan berwarna putih kekuning-kekuningan dan garam yang mengandung elemen Fe dan Cu dapat memberikan perubahan pada ikan yang dikeringkan seperti warna berubah menjadi kotor (kecoklat-coklatan).
Ø Aroma
berdasarkan pengamatan pada aroma ikan hasil penggaraman kering yang dilakukan pada ikan bandeng (Chanos chanos), diperoleh nilai kisaran rata-rata 7.51-8.33 yang menunjukkan ikan beraroma wangi (harum) dan sedikit memiliki bau tambahan. Kemurnian garam dapat memperlambat penetrasi garam kedalam tubuh ikan sehingga terjadi proses pembusukan sebelum penggaraman berakhir, hal ini sesuai dengan pendapat Adawiyah (2007) yang menyatakan penetrasi garam yang mengandung komponen Ca dan Mg sangat lambat. Sehingga sering terjadi proses pembusukan sebelum pengamatan berakhir.
Ø Rasa
Berdasarkan pengamatan pada rasa ikan hasil penggaraman kering yang dilakukan pada ikan Bandeng (Chanos cahanos) diperoleh nilai kisaran rata-rata 7.29-8.08. hal ini menunjukkan bahwa rasa ikan kering cukup garing dan garam hasil pengeringan dapat dirasakan pada tubuh ikan dengan pas dan tidak berlebihan. Semakin tinggi konsentrasi garam, semakin tinggi daya awet ikan, tetapi ikan akan menjadi terlalu asin dan kurang dinikmati. Hal ini sesuai dengan pendapat Afrianto (1989) yang menyatakan jika garam yang digunakan mengandung CaSO4 sebanyak 0.5-1%, ikan yang dihasilkan mempunyai rasa yang pahit, dan kaku.
Ø Tektur Daging Ikan
Berdasarkan pengamatan pada tekstur daging ikan hasil penggaraman kering yang dilakuakan pada ikan Bandeng (Chanos chanos), diperoleh nilai kisaran rata-rata 7.55-8.45. hal ini menunjukkan tekstur daging ikan padat, kompak (merata keringnya). Pengeringan daging ikan ini, teksturnya sedikit agak keras dan kering hal ini sesuai dengan pendapat Hadiwiyoto (1993) yang menyatakan hasil pengeringan ikan dengan menggunakan metode kering (Dry Salting) memiliki tekstur yang kering dan padat hal ini apabila dicoba dipatahkan maka ikan sangat kering dan kuat.
b. Ikan 2
Ø Kenampakan
Berdasarkan hasil pengamatan pada penggaraman kering yang dilakukan pada ikan Bandeng (Chanos chanos) diperoleh nilai kisaran rata-rata 7.05-7.57 yang menunjukkan ikan memiliki ciri-ciri yang utuh, agak rapi. Garam yang mengandung elemen Fe dan Cu dapat mengakibatkan ikan asin berwarna coklat dan kering. Hal ini sesuai dengan pendapat Irawan (2007) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kenampakan ikan asin adalah kebersihan dan penanganan pada waktu penyucian karena kesemua hal ini sangat berhubungan dengan kebutuhan ikan asin yang dihasilkan.
Ø Aroma
Berdasarkan pengamatan ikan bandeng (Chanos chanos) diperoleh nilai kisaran rata-rata 7.32-8.22 yang menunjukkan bahwa aroma hasil penggaraman kering harum dan memiliki bau yang pekat hal ini sesuai dengan pendapat Adawiyah (2007) yang menyatakan penetrasi garam yang mengandung komponen Ca dan Mg sangat lambat, sehingga sering sekali terjadi proses penggaraman kering berakhir, tentunya membuat ikan memiliki aroma yang busuk dan tidak sedap baunya.
Ø Rasa
Berdasarkan pengamatan pada rasa ikan hasil penggaraman kering yang dilakukan pada ikan Bandeng (Chanos chanos). Diperoleh nilai kisaran rata-rata antara 7.53-8.01. hal ini menunjukkan rasa yang sangat enak, spesifik jenis, dan banyak rasa tambahan, hal ini sesuai dengan pendapat Afrianto (1989) yang menyatakan hasil yang sempurna dari proses pengeringan kering adalah memiliki rasa yang sedap (enak) dan gurih serta tidak lembek.
Ø Tekstur Daging
Berdasarkan hasil pengamatn pada tekstur daging ikan hasil penggaraman kering yang dilakukan pada ikan Bandeng (chanos chanos). Diperoleh nilai kisaran rata-rata antara 6.98-7.66 yang menunjukkan ikan memiliki tekstur daging yang padat. Hal ini sesuai dengan pendapat Adawiyah (2007) yang menyatakan tekstur daging ikan yang dikeringkan dengan menggunakan metode penggeringan kering dikatakan sempurna apabila daging ikan tersebut padat dan keras. Hal inilah yang menjadi indikator terhadap tekstur daging ikan yang diperhatikan dalam metode penggeringan kering (Dry Salting)
2. Penggaraman Basah (wet salting)
a. Ikan 1
Ø Kenampakan
Berdasarkan hasil pengamatan pada penggaraman ikan dengan menggunakan metode basah pada ikan bandeng (Chanos cahanos) diperoleh nilai kisaran rata-rata antara 8.03-8.73. hal ini menunjukkan ikan memiliki penampakan yang utuh, bersih, dan agak rapi mnurut Adawiyang (2007) yang menyatakan kenampakan ikan dari sudut luarnya merupakan indikator yang paling penting dalam upaya peningkatan pendapatan para penjual ikan kering (ikan asin).
Ø Aroma
berdasarkan pengamatan pada aroma ikan hasil penggaraman basah yang dilakukan pada ikan bandeng (Chanos chanos), diperoleh nilai kisaran rata-rata 7.55-8.45. menunjukkan ikan memiliki rasa yang kurang asin dan digigit tidak terlalu gurih hal ini disebabkan kurang atau tidak dilakukannya proses pengeringan. Sesuai dengan pendapat Hadiwiyoto (1993) yang menyatakan penggaraman basah dapat memberikan efek pembusukan atau kerusakan yang lebih cepat dari pada penggaraman kering. Oleh karena itu diperlukan penanganan yang khusus dalam upaya mempertahankan mutu ikan yang diberi garam (penggraman).
Ø Rasa
Berdasarkan pengamatan pada rasa ikan hasil penggaraman basah yang dilakukan pada ikan Bandeng (Chanos chanos) diperoleh nilai kisaran rata-rata 7.7-8.5. hal ini menunjukkan bahwa rasa ikan kering sangat enak, spesifik jenis, dan sedikit rasa tambahan. Hasil dari penggaraman basah memiliki rasa yang tidak terlalu asain. Dikarenakan ikan tanpa atau kurang dilakukannya pengeringan. Menurut Adawiyah (2007) yang menyatakan rasa dari hasil pengolahan produk perikanan adalah bagaimana penanganan dari ikan tersebut.
Ø Tekstur Daging
Berdasarkan hasil pengamatn pada tekstur daging ikan hasil penggaraman basah yang dilakukan pada ikan Bandeng (chanos chanos). Diperoleh nilai kisaran rata-rata antara 7.15-8.09. yang menunjukkan ikan memiliki tekstur daging yang padat. Pada metode penggaraman basah terlihat tekstur yang sedikit berbeda dengan penggaraman kering, pada penggaraman kering ikan terlihat berwarna coklat yang pekat sekali, dan memiliki tekstur yang daging yang sedikit lembek hal ini disebabkan ikan yang diberi penggaraman, pengeringan yang tidak sempurna pada seluruh lapisan tubuh ikan tersebut, hal ini sesuai dengan pendapat Hadiwiyoto (1993) yang menyatakan penggraman adalah salah satu usaha yang dilakukan dan dapat mempertahankan mutu ikan.
b. Ikan 2
Ø Kenampakan
Berdasarkan hasil pengamatan pada penggaraman basah yang dilakukan pada ikan Bandeng (Chanos chanos) diperoleh nilai kisaran rata-rata 7.26-8.28 yang menunjukkan ikan ikan mempunyai penampakan dengan warna kecoklat-coklatan. Garam yang mengandung elemen Fe dan Cu dapat mengakibatkan ikan asin berubah menjadi coklat dan kering. Tetapi pada penggaraman basah ini terlihat aikan tidak terlalu kering. Hal ini sesuai dengan pendapat Afrianto (1989) yang menyatakan kualitas dari ikan yang dikeringkan tergantung metode dan cara yang dilakukan.
Ø Aroma
Berdasarkan pengamatan ikan bandeng (Chanos chanos) diperoleh nilai kisaran rata-rata 6.20-9.04 yang menunjukkan ikan ini memiliki wangi atau aroma yang mencolok sekali. Dalam hal ini kemurnian garam sdangat berpengaruh terhadap penetrasi garam kedalam tubuh ikan. Apabila kandungan garam murni ditaburkan kedalam tubuh ikan maka akan terjadi proses perlambatan penetrasi garam kedalam tubuh ikan. Sehingga ikan akan lebih cepat membusuk, hal ini sesuai dengan pebdapat Afrianto (1989) yang menyatakan garam-garam yang mempunyai distribusi ukuran kristal yang baik dari ukuran yang paling halus sampai dengan yang cukup halus baik untuk proses penggaraman.
Ø Rasa
Berdasarkan pengamatan pada rasa ikan hasil penggaraman basah yang dilakukan pada ikan Bandeng (Chanos chanos) diperoleh nilai kisaran rata-rata antara 7.55-8.45 yang menunjukkan rasa ikan cukup garing dan hasil penggaraman dapat dirasakan dengan pas dan tidak berlebihan. Semakin tinggi konsentrasi garam, semakin tinggi daya awet ikan akan tetapi ikan akan menjadi terlalu asin dan kurang dinikmati hal ini sesuai dengan pendapat Adawiyah (2007) yang menyatakan bau tengik yang terjadi pada ikan hasil penggaraman dikarenakan oksidasi lemak oleh karena itu sangat dibutuhkan pengeringan yang maksimal untuk mendapatkan hasil penggaraman yang maksimal pula.
Ø Tekstur Daging
Berdasarkan hasil pengamatan pada tekstur daging ikan hasil penggaraman basah yang dilakukan pada ikan Bandeng (chanos chanos). Diperoleh nilai kisaran rata-rata antara 7.51-8.33 yang menunjukkan ikan memiliki tekstur daging yang padat dan sedikit lembek hal ini disebabkan kurangnya dilakukan pengeringan. Hal ini sesuai dengan pendapat Adawiyah (2007) yang menyatakan metode yang berbeda dalam upaya penanganan ikan yang dikeringkan maka hasil akhirnya pun akan berbeda, oleh karena itu hendaknya masyarakat dapat memilih metode yang baik untuk digunakan agar hasil akhirnya dapat maksimal.
3. Penggaraman bertumpuk (kench salting)
a. Ikan 1
Ø Kenampakan
Berdasarkan pengamatan pada penggaraman bertumpuk yang dilakukan pada ikan Bandeng (Chanos chanos) diperoleh nilai kisaran rata-rata antara 6.93-8.15 yang menunjukkan ikan memiliki kenampakan yang menarik dengan warna kuning kecoklat-coklatan karena garam yang digunakan adalah garam yang mengandung elemen Fe dan Cu yang dapat mengakibatkan ikan asin yang telah dikeringkan akan berwarna coklat dan kering. Hal ini esuai dengan pendapat Irawan (1997) yang menyatakan kenampakan pada ikan sangat dipengaruhi oleh penanganan serta kebersihan dalam penggaraman.
Ø Aroma
Berdasarkan pengawetan pada aroma ikan hasil penggaraman bertumpuk yang dilakukan pada ikan Bandeng (Chanos chanos ) maka diperoleh nilai kisaran rata-rata antara 8.55-8.56 yang menunjukkan ikan memiliki aroma yang khas dan mengundang selera. Kemurnian garam dapat memperlambat penetrasi garam kedalam tubuh ikan sehingga mempercepat pembusukan sebelum ikan benar-benar telah kering setelah diberi penggaraman. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadiwiyoto (1993) yanmg menyatakan garam yang baik adalah garam yang tidak terlalu murni dengan konsentrasi kandungan garam yang pas.
Ø Rasa
Berdasarkan pengamatan pada rasa ikan hasil penggaraman bertumpuk yang dilakukan pada ikan Bandeng (Chanos chanos) diperoleh nilai kisaran rata-rata antara 7.57-8.73 yang menunjukkan bahwa rasa ikan cukup garing dan renyah. Menurut Adawiyah (2007) yang menyatakan semakin tinggi konsentrasi garam yang digunakan maka daya awet ikan yang diberi garam atau proses penggaraman tinggi karena air dapat diserap dengan cepat serta memerlukan waktu pengeringan yang cepat pula, akan tetapi ikan tersebut memiliki rasa yang terlalu asin dan kurang dinikmati oleh penikmat ikan asin.
Ø Tekstur Daging
Berdasarkan hasil pengamatan pada tekstur daging ikan hasil penggaraman bertumpuk yang dilakukan pada ikan Bandeng (chanos chanos). Diperoleh nilai kisaran rata-rata antara 7.6-8.54. tekstur daging ikan dengan menggunakan penggraman bertumpuk, daging ikan memiliki tekstur daging yang padat, dengan warna yang kuning kecoklat-coklatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadiwiyoto (1993) yang menyatakan proses akhir dari metode penggaraman tergantung pada penanganannya.
b. Ikan 2
Ø Kenampakan
Berdasarkan pengamatan pada penggaraman bertumpuk yang dilakukan pada ikan Bandeng (Chanos chanos) diperoleh nilai kisaran rata-rata antara 6.20-8.03 yang menunjukkan daging ikan tidak terlalu kering dan berwarna agak pucat. Hal ini disebabkan tidak meratanya garam yang tercampur dengan daging ikan sehingga elemen Fe dan Cu pada garam tidak merata persebarannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadiwiyoto (1993) yang menyatakan penanganan yang baik terhadap ikan asin dapat memberikan hasil yang baik pula, dan dapat memberi nilai tarik pada masyarakat.
Ø Aroma
Berdasarkan pengamatan pada penggaraman bertumpuk yang dilakukan pada ikan bandeng (Chanos chanos) diperoleh nilai kisaran rata-rata 6.63-7.52 yang menunjukkan ikan ini memiliki bau atau aroma yang sedikit amis atau tidak enak. Kemurnian garam dapat memperlambat penetrasi garam kedalam tubuh ikan sehingga terjadi proses pembusukan sebelum proses penggaraman selesai. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadiwiyoto (1993) yang menyatakan bau tengik akibat adanya oksidasi lemak di udara, dapat memberi pengaruh yang kurang baik terhadap hasil akhir penggaraman oleh karena itu penanganan harus dilakukan sebaik mungkin.
Ø Rasa
Berdasarkan pengamatan pada rasa ikan hasil penggaraman bertumpuk yang dilakukan pada ikan Bandeng (Chanos chanos) diperoleh nilai kisaran rata-rata antara 7.6-8.454 yang menunjukkan rasa ikan cukup garing dan hasil penggaraman dapat dirasakan dengan pas dan tidak berlebihan. Pemberian garam yang berlebihan dapat menyebabkan keasinan yang berlebihan hal ini sesuai dengan pendapat Irawan (1997) yang menyatakan penggaram hendaknya dilakukan dengan secermat mungkin baik dalam pemberian garam, peneburan garam yang berlebihan dapat menyebabkan perubahan rasa yakni timbulnya rasa yang terlalu asin.
Ø Tekstur Daging
Berdasarkan hasil pengamatan pada tekstur daging ikan hasil penggaraman bertumpuk yang dilakukan pada ikan Bandeng (chanos chanos). Diperoleh nilai kisaran rata-rata antara 7.79-8.51. hal ini menunjukkan tekstur daging ikan padat dan tampak kompak (merata keringnya). Tetapi pada hasil akhir tekstur daging ikan ini sedikit agak keras dan kering hal ini, sesuai dengan pendapat Hadiwiyoto (1993) yang menyatakan hasil penggaraman dengan metode bertumpuk seluruh kandungan garam tidak merata tergantung tumpukan yang terbentuk.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan ikan Bandeng (Chanos chanos) melalui proses penggaraman baik penggaraman kering (dry salting), penggaraman basah (wet salting) dan penggaraman bertumpuk (kench salting) dapat dilihat bahwa penggaraman yang efisien adalah penggaraman basah karena garam dapat tersebar keseluruh bagian tubuh ikan jadi rasa asin dapat merata pada seluruh bagian tubuh ikan.
DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Haka Grafis. Jakarta.
Afrianto, E. Dan Liviawaty, E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Jakarta.
Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Liberty. Jakarta.
Irawam. 1997. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. jakarta
PEMBAHASAN
A. Bakso Ikan
1. Warna
Berdasarkan pengamatan terhadap ikan tenggiri (Scomberomorus comerson) yang dibuat bakso ikan diperoleh nilai kisaran rata-rata 7.9-8.6 yang menunjukkan ikan warna pada bakso ikan berwarna putih pucat, dan spesifik jenis. Hal ini sesuai dengan pendapat Afrianto (1989) yang menyatakan warna atau kenampakan pada hasil akhir pengolahan hasil perikanan tergantung bahan atau ikan yang dipakai.
2. Aroma
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap ikan tenggiri (Scomberomourus comerson) yang dibuat bakso ikan, maka diperoleh nilai kisaran rata-rata antara 8.3-8.9 yang menunjukkan ikan memiliki aroma yang harum, tidak berbau amis, dan bumbu dapat dirasakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Adawiyah (2007) yang menyatakan aroma pada hasil akhir merupakan salah satu indikator terhadap penilaian baik atau buruknya hasil pengolahan hasil perikanan oleh karena itu hendaknya dapat diperhatikan bumbu-bumbu maupun bahan yang digunakan agar hasil dapat maksimal dan tidak sia-sia.
3. Rasa
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap ikan tenggiri (Scomberomouru comerson) yang dibuat bakso ikan diperoleh nilai kisaran rata-rata antara 8.4-8.9 yang menunjukkan ikan atau bakso ikan memiliki rasa yang sangat enak dan bumbu dapat terasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadiwiyoto (1993) yang menyatakan rasa pada pengolahan hasil perikanan tergantung bagaimana cara dan metode pembuatannya serta seluruh komponen bahan yang digunakan.
4. Tekstur
Berdasarkan pengamatan terhadap ikan tenggiri (Scomberomourus comerson) yang dibuat bakso diperoleh nilai kisaran rata-rata yaitu : 8.1-8.2 yang menunjukkan bakso ikan memiliki tekstur yang padat, kenyal dan agak berserat. Ikan yang diolah dalam suatu wadah pengolahan dapat dijadikan salah satu indikator pemanfaatan hasil perikanan yang dapat dimanfaatkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Adawiyah (2007) yang menyatakan tekstur daging ikan yang diolah misal bersisik atau tidak bersisik akan memprngaruhi hasil akhir.
B. Empek-empek
1. Warna
Berdasarkan hasil pengamatan pengolahan hasil perikanan terhadap ikan tenggiri (Scomberomorus comerson) yang dibuat empek-empek diperoleh nilai kisaran rata-rata 7.44-8.1. yang menunjukkan ikan yang dibuat empek-empek memiliki warna putih pucat, spesifik jenis. Hal ini sesuai dengan pendapat (Afrianto (1989) yang menyatakan hasil akhir dari pengolahan hasil perikanan tergantung pada bahan atau ikan yang digunakan karena seluruh pigmen warna pada ikan akan menyatu pada seluruh komponen bahan yang lain.
2. Aroma
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap ikan tenggiri (Scomberomourus comerson) yang dibuat empek-empek diperoleh nilai kisaran rata-rata antara 7.4-7.9 yang menunjukkan empek-empek memiliki aroma yang harum, tidak berbau amis, dan sedikit kurang terasa bumbu. Hal ini sesuai denggan pendapat Afrianto (1989) yang menyatakan bumbu-bumbu yang digunakan dalam pengolahan hasil perikanan hendaknya diperhatikan komponen didalamnya serta dicuci terlebih dahulu seperti (cabe dan tomat) agar tidak terdapat atau terjadinya pembusukan.
3. Rasa
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap ikan tenggiri (Scomberomouru comerson) yang dibuat empek-empek maka diperoleh nilai kisaran rata-rata 7,73-8,43 yang menunjukkan empek-empek memiliki rasa yang enak dan bumbu yang terasa karena dalam pengolahan seluruh bumbu diaduk sampai rata. Hal ini sesuai dengan pendapat Adawiyah (2007) yang menyatakan pengolahan yang baik dan maksimal akan memberikan hasil yang maksimal pula, begitupun sebaliknya.
4. Tekstur
Berdasarkan pengamatan terhadap ikan tenggiri (Scomberomourus comerson) diperoleh nilai kisaran rata-rata antara 6.9-7.7 yang menunjukkan ikan (empek-empek ikan) dengan tekstur daging yang agak padat dan kenyal, tidak memiliki serat. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadiwiyoto (1993) yang menyatakan dalam mengolah hasil perikanan hendaknya diperhatikan takaran bahan agar tidak terjadi kegagalan dalam pengolahan.
KESIMPULAN
Berdasarkan pengamatan terhadap pengolahan hasil perikanan pada ikan tenggiri (Scomberomourus comerson) yang dibuat bakso ikan dan empek-empek merupakan salah satu pemanfaatan hasil perikanan yang dapat dimanfaatkan seluruh masyarakat dalam menunjang pendapatan maupun upaya dalam menunjang pemenuhan gizi. Setiap pengolahan hasil perikanan seperti bakso ikan dan empek-empek mempunyai penanganan yang berbeda tergantung hasil akhir yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah. Rabiatul. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Haka Ghrafis.
Jakarta.
Afrianto. E dan Elviaty.E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Bumi aksara.
Jakarta.
Hadiwiyoto, S.. 1993. Pengolahan Hasil Perikanan Jilid 1. Liberty. Yogyakarta.
C. Nugget Ikan
5. Warna
Berdasarkan pengamatan terhadap ikan tenggiri (Scomberomorus comerson) yang dibuat Nugget ikan diperoleh nilai kisaran rata-rata 7,13-8,27 yang menunjukkan warna pada nugget ikan berwarna agak pucat, dan spesifik jenis. Tetapi hasil akhir dari nugget ikan yang ditelah digoreng menyebabkan warna nugget ikan berubah menjadi coklat pekat hal ini disebabkan proses penggorengan agar Nugget ikan dapat lanngsung dikonsumsi. Hal ini sesuai dengan pendapat Afrianto (1989) yang menyatakan warna atau kenampakan pada pengolahan hasil perikanan tergantung pada bahan atau ikan yang digunakan.
6. Aroma
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap ikan tenggiri (Scomberomourus comerson) yang dibuat abon ikan, maka diperoleh nilai kisaran rata-rata antara 6,99-8,13 yang menunjukkan ikan memiliki aroma yang harum, tidak berbau amis, akan tetepi bumbu kurang terasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Adawiyah (2007) yang menyatakan aroma pada hasil pengolahan hasil perikanan merupakan salah satu indikator terhadap penilaian baik atau buruknya hasil pengolahan tersebut.
7. Rasa
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap ikan etnggiri (Scomberpmouru comerson) yang dibuat nugget ikan maka diperoleh nilai kisaran rata-rata 7-8,56 yang menunjukkan nugget ikan memiliki rasa yang enak dengan bumbu terasa atau perpaduan seluruh bumbu terasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadiwiyoto (1993) yang menyatakan rasa pada pengolahan hasil perikanan tergantung pada cara dan metode pembuatannya serta seluruh komponen bahan yang digunakan.
8. Tekstur
Berdasarkan pengamatan terhadap ikan tenggiri (Scomberomourus comerson) yang dibuat nugget ikan diperoleh nilai kisaran rata-rata yaiutu : 7,5-8,61 yang menunjukkan tekstur daging atau nugget padat, kenyal dan tidak berserat akan tetapi pada hasil akhir yang kami dapatkan setelah pengolahan nugget memiliki tekstur yang agak keras dan tidak kenyal. Hal ini disebabkan kesalahan dalam menetapkan takaran tepung yang dipakai dalam pengolahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadiwiyoto (1993) yang menyatakan dalam mengolah hasil perikanan hendaknya diperhatikan takaran bahan-bahan yang dipakai agar tidak terjadi kegagalan dalam pengolahan tersebut.
D. Abon Ikan
5. Warna
Berdasarkan pengamatan terhadap ikan tenggiri (Scomberomorus comerson) yang dibuat Abon ikan dfiperoleh nilai kisaran rata-rata 7,4-8,4 yang menunjukkan warna pada nugget ikan berwarna agak pucat, dan spesifik jenis. Hal ini sesuai dengan pendapat Afrianto (1989) yang menyatakan kenampakan pada hasil akhir pengolahan hasil perikanan sangat tergantung pada bahan yang dipakai karena seluruh pigmen warna pada bahan atau ikan yang dipakai akan menyatu pada adonan sehingga mempengaruhi hasil akhir.
6. Aroma
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap ikan tenggiri (Scomberomourus comerson) yang dibuat abon ikan, maka diperoleh nilai kisaran rata-rata antara 67,67-8,77 yang menunjukkan ikan memiliki aroma yang harum, tidak berbau amis, akan tetepi bumbu kurang terasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Afrianto (1989) yang menyatakan bumbu-bumbu yang digunakan dalam pengolahan hasil perikanan hendaknya diperhatikan komponen-komponen di dalamnya serta dicuci terlebih dahulu seperti (cabe dan tomat) agar cairan atau larutan kimia pada bahan dapat terbilas sehingga hasil pengolahan dapat optimal.
7. Rasa
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap ikan tenggiri (Scomberpmouru comerson) yang dibuat abon ikan maka diperoleh nilai kisaran rata-rata 7,1-8,24 yang menunjukkan abon ikan memiliki rasa yang enak dengan bumbu terasa atau perpeduan seluruh bumbu terasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Adawiyah (2007) yang menyatakan bahwa pengolahan yang baik dan yang maksimal akan memberikan hasil yang maksimal pula dan begitu pun sebaliknya.
8. Tekstur
Berdasarkan pengamatan terhadap ikan tenggiri (Scomberomourus comerson) yang dibuat abon ikan diperoleh nilai kisaran rata-rata yaiutu : 7,67-8,338,61 yang menunjukkan tekstur abon ikan memiliki tekstur kenyal dan agak berserat. Akan tetapi tekstur akhir dari abon ikan yang kami lakukan memiliki tekstur yang lembut dan halus, dikarenakan abon ikan harus dihancurkan dan dilumatkan sehingga teksturnya tidak padat. Hal ini sesuai dengan pendapat Irawan ( 1997) yang menyatakan dalam pembuatan makanan yang diinginkan agar dalam pembuatan seluruh komponen bahan dapat diolah sebaik-baiknya sehingga hasil yang diharapkan dapat maksimal pula.
KESIMPULAN
Berdasarkan pengamatan terhadap pengolahan hasil perikanan pada ikan tenggiri (Scomberomourus comerson) yang dibuat nugget ikan dan abon ikan merupakan salah satu pemanfaatan hasil perikanan yang dapat dimanfaatkan seluruh masyarakat dalam menunjang pendapatan maupun upaya dalam menunjang pemenuhan gizi. Setiap pengolahan hasil perikanan seperti abon ikan dan nugget ikan mempunyai penanganan yang berbeda tergantung hasil akhir yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah. Rabiatul. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Haka Ghrafis.
Jakarta.
Afrianto. E dan Elviaty.E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Bumi aksara.
Jakarta.
Hadiwiyoto, S.. 1993. Pengolahan Hasil Perikanan Jilid 1. Liberty. Yogyakarta.
Irawan, 1997. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Jakarta.
No comments :
Post a Comment